TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA




TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA

SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH

PENERBIT
CV. LICENSI
2024

Sangsi Pelanggaran
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Hak Cipta dilindungi oleh undang
Hak Cipta dilindungi oleh undang--undang. Pertama kali diterbitkan di Indonesundang. Pertama kali diterbitkan di Indonesia dalam ia dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit LICENSI. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik Bahasa Indonesia oleh Penerbit LICENSI. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.penerbit.
Penata
Penata IsiIsi : : Wahyudi SetiawanWahyudi Setiawan
Cover
Cover : : Sofyan MalikiSofyan Maliki
Cetakan I,
Cetakan I, Oktober Oktober 20242024
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit LICENSI Jalan Letnan Rantam RT. 016 RW. 004
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit LICENSI Jalan Letnan Rantam RT. 016 RW. 004 Poncogati, Curahdami, BondowosoPoncogati, Curahdami, Bondowoso--Jawa TimurJawa Timur
Telp: +6282336053336, +6285236555520
Telp: +6282336053336, +6285236555520
Email :
Email : penerbitlicensi@gmail.compenerbitlicensi@gmail.com, Web, Web : : www.penerbitlicensi.comwww.penerbitlicensi.com
Didistribusikan oleh CV. LICENSI (Library Centre Indonesia) Jalan Letnan Rantam RT.
Didistribusikan oleh CV. LICENSI (Library Centre Indonesia) Jalan Letnan Rantam RT. 016 RW. 004 Poncogati, Curahdami, Bondowoso016 RW. 004 Poncogati, Curahdami, Bondowoso--Jawa TimurJawa Timur
Telp: +6282336053336, +6285236555520
Telp: +6282336053336, +6285236555520
Emai
Email: l: penerbitlicensi@gmail.compenerbitlicensi@gmail.com
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
v
Pengantar Penulis
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, tuhan yang maha kuasa karena berkat taufiq dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan buku ini.
Buku ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang konstruktif dalam Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri Jawa Timur. Khususnya yang berkaitan dengan Toleransi Dalam Pluralitas Agama.
Islam moderat dalam identifikasinya menggambarkan Islam dengan karakternya yang universal, memiliki posisi seimbang antara dua kutub yang terkesan bertentangan. Sikap dasar yang diambil untuk mencapai universalisme Islam dalam moderat sendiri dibangun dari karakter tidak mudah menyalahkan, tidak merasa paling benar, terbuka dan bersedia untuk diajak berdialog sehingga akan timbul rasa saling menghargai dan memaklumi perbedaan. Yusuf Qardhawi pun menghadirkan empat aspek dalam prinsip wasatiyyah Islam, yakni aqidah, ibadah, akhlaq, dan syari’ah. Dimana keempat aspek ini memiliki ukuran masing-masing dalam karakteristiknya. Karakteristik inilah yang akan menjembatani pemahaman dan kontekstualitas dalam toleransi terhadap pluralitas agama di Indonesia
Buku ini tentunya belum sempurna. Karena itu dengan segenap hati penulis siap menerima saran serta kritik dari pemakai atau pembaca buku ini demi perbaikan di kemudian hari.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
vi
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor UIN KHAS Jember yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam proses penerbitan buku ini dan semua pihak yang telah terlibat dalam penyelesaian penulisan buku ini sampai buku ini ada pada tangan pembaca. Semoga buku ini banyak memberikan manfaat bagi kita semua. Amien.
Jember, Agustus 2024
Siti Masrohatin dan Khansa’ Azizah
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
vii
Daftar Isi
H
HAALLAAMMAANN JJUUDDUULL .......................................................................................... ii
PENGANTAR
PENGANTAR PENULISPENULIS ........................................................................ vv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .................................................................................................................. viivii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................... 1
BAB 2 KAJIAN EMPIRIK, KONSEP WASATIYYAH, KONSEP TOLERANSI, DAN KERANGKA KONSEPTUAL
2.1 KAJIAN EMPIRIK ......................................... 13
2.2 KONSEP WASATIYYAH ............................... 20
2.3 KONSEP TOLERANSI ................................. 22
2.4 KERANGKA KONSEPTUAL ........................ 27
BAB 3 BIOGRAFI YUSUF QARDHAWI
3.1 LATAR BELAKANG KEHIDUPAN ............. 29
3.1.1 Keluarga Dan Masa Kecilnya .................. 29
3.1.2 Masa Remaja Qardhawi Dan
Keanggotaannya Dalam Ikhwanul
Muslimin .......................................................... 33
3.2 PERAN DAN PENGALAMAN DALAM
DUNIA INTERNASIONAL .......................... 36
3.3 PENGHARGAAN DAN PRESTASI ............. 39
3.4 GURU-GURU YUSUF QARDHAWI ............ 40
3.5 KARYA-KARYA YUSUF QARDHAWI ......... 42
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
viii
3.6 LATAR BELAKANG PEMIKIRAN
WASATIYYAH YUSUF QARDHAWI ........... 47
3.7 KONSEP WASATIYYAH AL-ISLAM
YUSUF QARDHAWI ...................................... 52
3.7.1 Wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi...... 52
3.7.2 Karakteristik Wasatiyyah ........................ 54
3.8 URGENSI PRINSIP WASATIYYAT
AL-ISLAM PADA ERA GLOBALISASI ........ 76
3.9 FORMULASI WASATIYYAT AL-ISLAM ..... 80
3.9.1 Wasatiyyat al-Islam dalam Aqidah
.................................................................. 80
3.9.2 Wasatiyyat al-Islam dalam Ibadah ......... 82
3.9.3 Wasatiyyat al-Islam dalam Akhlak ......... 82
3.9.4 Wasatiyyat al-Islam dalam Syari’ah ........ 83
3.10 TOLERANSI DALAM WASATIYYAT
AL-ISLAM MENURUT YUSUF
QARDHAWI ................................................... 83
3.10.1 Landasan Intelektual Toleransi
Dalam Ajaran Islam ............................... 86
3.11 TOLERANSI DALAM PLURALITAS
AGAMA ............................................................ 89
3.12 SIKAP MODERAT QARDHAWI ANTARA FUNDAMENTALISME DAN LIBERAL ... 103
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
ix
BAB 4 MODERASI BERAGAMA DI
INDONESIA
4.1 TOLERANSI DALAM MODERASI
BERAGAMA.................................................... 107
4.2 INDEKS KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA.................................................... 112
4.3 KONTEKSTUALITAS NILAI
WASATIYYAH YUSUF QARDHAWI
DALAM MODERASI BERAGAMA DI INDONESIA ................................................... 115
BAB 5 TRANSKRIP RINGKAS, SARAN DAN
REKOMENDASI ..................................... 119
DAFTAR PUSTAKA ............................................ 121
BIOGRAFI PENULIS ......................................... 135
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
1 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
BAB 1
PENDAHULUAN
Konsep wasatiyyat al-Islam menarik untuk dikaji karena menjadi sesuatu yang diimpikan untuk dihadirkan oleh banyak golongan, gerakan dakwah, maupun negara-negara terutama negara dengan mayoritas Muslim. Hal ini disebabkan oleh munculnya beberapa istilah yang muncul atas nama Islam (Ahmad 2013, 235). Istilah yang muncul cenderung pada nilai yang mengutub dan memilki nilai mainstream yang bertentangan sehingga merusak citra Islam itu sendiri, ketika ada Islam keras maka sebutan lawannya adalah Islam lunak, Islam kanan dengan Islam kiri, Islam radikal dengan Islam liberal. Istilah kanan, radikal, keras ditujukan kepada sekelompok kaum Muslim yang pemikirannya cenderung kaku dan sangat tekstual, yakni tidak menerima perubahan-perubahan yang bermunculan seiring dengan berkembangnya zaman. Sehingga memiliki kesan memaksakan kehendak dan menimbulkan stigma negatif pada agama Islam sebagai agama yang keras, tertutup, intoleran dan cenderung tidak humanis. Sedangkan istilah yang sebaliknya ditujukan pada lawan maksudnya, yakni Islam kiri, Islam lunak atau Islam liberal dialabelkan pada sekelompok kaum Muslim yang mengusung kebebasan penuh dalam berpikir secara rasionalis. Baginya, Islam harus berubah mengikuti perkembangan zaman hingga berani memastikan adanya nas Al-Qur’an yang sudah tidak relevan (Arif 2020, 23–24). Kebebasan dalam berpikir dan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
2 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
berpendapat disini semata-mata untuk menjunjung tinggi asas kebebasan individu yang darinya akan terpenuhi hak-hak asasi manusia dalam segala bidang, dari sosial, ekonomi, politik, dan kultural (Muhibbudin 2021).
Bagi pemeluk agama, munculnya istilah-istilah dalam dua kutub yang berbeda ini pun menimbulkan keresahan, satu sama lain saling menuduh adanya penyimpangan dikarenakan penganut pemikiran pertama menganggap pikiran bebas akan perlahan menghancurkan agama, demikian pula penganut pemikiran kedua menganggap kekakuan yang ada dari paham kelompok yang keras dan tertutup, semata-mata karena kurangnya ilmu pengetahuan dan kegagalan Islam mengikuti perkembangan zaman sehingga terkesan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemeluk non-Muslim. Kedua kutub dari golongan berawal dari kesalahan dalam memahami ajaran agama secara komprehensif sehingga menimbulkan akibat yang bertentangan dengan Islam itu sendiri (Huda, Hamid, dan Misbah 2020, 200).
Islam moderat dalam identifikasinya menggambarkan Islam dengan karakternya yang universal, memiliki posisi seimbang antara dua kutub yang terkesan bertentangan. Sikap dasar yang diambil untuk mencapai universalisme Islam dalam moderat sendiri dibangun dari karakter tidak mudah menyalahkan, tidak merasa paling benar, terbuka dan bersedia untuk diajak berdialog sehingga akan timbul rasa saling menghargai dan memaklumi perbedaan (Zuhri 2022, 2–3). Sikap moderat bertumpu pada prinsip santun dalam bersikap,
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
3 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dapat menjalin interaksi yang harmonis dalam masyarakat, anti kekerasan, mengharagai pendapat, menghormati orang lain dan mengedepankan perdamaian. Dengan ini sikap moderat dapat selaras dengan visi ajaran agama Islam yang rahmatan lil-‘alamin (pembawa rahmat bagi seluruh alam) (Hilmi 2016).
Namun nampaknya, Islam moderat tidak hadir sebagai solusi dalam problematika keagamaan, sebagian kalangan menyatakan campur tangan dari propaganda Barat dalam mendefinisikan ukuran moderat dan terkesan sarat akan kepentingan. Ulasan historis menyebutkan, sejak munculnya peristiwa yang terjadi pada gedung kembar WTC (World Trade Center) pada 11 September 2001 menjadi dasar awal dan referensi utama dalam kemunculan label Islam sebagai agama teroris dan darinya tumbuh kelompok radikal, fundamental, militan, garis keras atau apapun namanya dengan anggapan perlu bahkan harus untuk dibredel. Maka, Muslim moderat disini adalah jalan terbaik sebagai solusi seperti yang diutarakan oleh Daniel Pipes “Jika Islam militan menjadi masalah, maka solusinya adalah Muslim moderat” (Z. Rais 2018, 103). Kemudian, seorang analis kebijakan senior RAND (Research and Development) Corporation1, Dr. Angel Rabasa mendefinisikan Muslim moderat dengan Muslim yang menerima kultur demokratik, mendukung pluralisme,
1 RAND Corporation adalah lembaga pemikir kebijakan global nirlaba Amerika, lembaga penelitian, dan perusahaan konsultan sektor publik
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
4 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
feminisme kesetaraan gender, demokrasi dan HAM internasional (Zarkasyi 2012, 134). Menurut pandangan Ariel Cohen, seorang politikus Amerika Serikat mengartikan moderat dengan sangat luas, namun disebutkan dalam penyatannya bahwa muslim moderat adalah siapapun yang terbuka dalam dialog dan kompromi dengan orang-orang yang memiliki penafsiran lain terhadap Al-Qur’an, sekalipun tidak beragama Islam. Muslim moderat menghormati hak individu untuk menentukan pilihan dalam menunaikan atau meninggalkan ibadah, atau tidak beriman sekalipun (Cohen 2005). Bahkan, seorang penulis dari Kanada, Abid Ullah Jan menyatakan dalam tulisannya:
“Ektremis Amerika sendiri menolak untuk mengakui muslim sebagai moderat kecuali menolak Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan.”(Jan 2005)
Semangat moderasi yang dimaksud semata-mata sebagai jalan pemersatu dan perwujudan dari misi Islam yang menebarkan perdamaian bagi seluruh alam, perlahan menyentuh ranah yang lebih luas dan meresahkan. Pengaruh globalisme yang diikuti dengan modernisme memang menyatukan erat individu secara global, akan tetapi secara perlahan tanpa terasa menjadikan individu beragama jauh dari kehidupan metafisis yang taat dengan nilai-nilai religiusitasnya (Supriyatno 2022). Universalitas Islam masih menjadi isu sentral antara dunia Barat dan Peradaban Islam dimana
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
5 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dengan segala kemajuannya, Barat menginginkan seluruh negara di dunia untuk tunduk dan menerapkan nilai-nilai yang dianggap benar dalam pandangannya (Manurung 2021, 19). Kenyataan rusaknya moral pemuda, generasi bangsa, mulai dari mereka yang menjadi budak narkoba hingga korban gaya hidup liberal yang menjerumuskan mereka ke dalam pergaulan bebas, sehingga merelakan kehormatannya hanya demi uang dan kenikmatan duniawi. Maka, pemeluk agama yang memiliki pandangan yang tajam dan dapat memadukan ketajaman analisisnya dengan ketakwaan itulah yang dibutuhkan masyarakat dan memiliki potensi untuk berperan dalam menengahi perpecahan ini untuk menyongsong kebangkitan Islam. (Yusuf Qardhawi 2007, 16).
Bermacam istilah dan identitas yang menempel dalam pengklasifikasian golongan Islam sendiri, nyatanya terkadang membuat bingung dan saling tuduh menuduh. Bahkan istilah Islam moderat yang dimaksud sebagai solusi, terkesan sarat kepentingan dan dapat menjelma sebagai perang pemikiran (Z. Rais 2018, 102). Istilah moderat mulai dirasa problematis, karena pelabelan istilah tersebut terkesan sangat subjektif dan bergantung pada siapa yang mengusung definisi tersebut. Dalam konteks global misalnya, PBB yang dibentuk untuk meredam perpecahan dan menghendaki persahabatan antar negara tidak bersikap tegas saat Amerika dan sekutu hingga penjajah Israel melakukan pembantaian terhadap warga sipil Palestina. Begitu pula pemberian ruang istimewa pada penganut paham LGBT dan mendukung aktivitasnya
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
6 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
berlandaskan junjungan penuh atas HAM (Hak Asasi Manusia) memunculkan anggapan bahwa negara yang menolak paham LGBT adalah intoleran atau tidak moderat (Wahab 2023).
Takaran toleransi dalam menghadapi pluralitas agama pun memicu adanya keresahan di Indonesia, seperti kasus yang viral dimana iringan musik marawis dari kalangan Muslim mengiringi peresmian gereja di Muara Enim (Syahbana 2023), demikian pula keikursertaan santri dalam iring-iringan membawa lilin dalam acara Misa sambil menabuh rebana Al-Banjari dan tarian sufi didasarkan atas upaya menjalin persahabatan lintas iman (Widianto 2019). Kasus pernikahan beda agama pun marak di Indonesia, SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) nomor 2 tahun 2023 yang melarang pengadilan mengabulkan pernikahan beda agama pun tidak menghentikan pasangan beda agama untuk menikah. Pada Juli 2023 ini tercatat 24 pasangan beda agama melangsungkan pernikahan dengan membawa prinsip toleransi dalam beragama (Yulianto 2023). Dimana hal itu muncul pendapat pro-kontra. Dimana paham kontra akan mengutarakan adanya nilai yang merusak dan mengaburkan prinsip bergama itu sendiri. Meskipun dapat diterima secara kemanusiaan dan menimbulkan kerukunan, namun dalam praktik toleransi itu sendiri masih ada masih kesan dalam penerapannya yang terlalu serampangan. Serampangan yang dimaksud adalah tanpa batasan tertentu sehingga membuat risih sebagian muslim lainnya. Quraish Shihab pun
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
7 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
mengungkapkan ada masalah keterbatasan kandungan dalam memahami makna moderasi (Shihab 2020, 23). Maka kejernihan nalar dalam memaknai toleransi hingga menemukan relevansinya penting untuk dilakukan.
Semangat moderat adalah prasayarat bagi seluruh umat Islam bukan sebuah label atau identitas yang dituntut pengakuannya di pihak lain (Jan 2005). Semua pemeluk agama bersepakat memaknai sikap moderat sebagai solusi jalan tengah yang didalamnya terdapat keseimbangan dan anti terhadap perbuatan ekstrem, namun istilah ini menjadi multitafsir ketika belum ada ukuran yang proporsional dalam mengenal batas pinggirnya (Dairobi 2022). Maka, jika mundur ke belakang dan menelusuri semangat Muslim moderat adalah semangat memperjuangkan nama agama. Maka dalil dari ayat Al-Qur’an yang dijunjung adalah ayat ke 143 dari Surah Al-Baqarah :
وَكَذََٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَ لى النَّاسِ
“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Dari uraian ayat tersebut, moderat yang dimaksud adalah serapan dari kata wasatan dalam bahasa Arab, maka penyegaran makna dari wasatiyyah sendiri dianggap perlu
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
8 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dilakukan. Beberapa fakta mengungkapkan bahwa perilaku dalam beragama tidak senantiasa selaras dengan maksud dan tujuan agama itu sendiri (Andika Putra et al. 2021, 590). Konsentrasi umat beragama hanya menghindari label radikal atau liberal namun belum sepenuhnya memahami kapan dan bagaimana memposisikan moderat. Narasi dan perkembangan zaman yang mempengaruhi akan arah pemikiran terkait wasatiyyat al-Islam, mendorong penulis untuk mempelajari kembali konsep wasatiyyat al-Islam itu sendiri hingga dapat memberi pemahaman secara konkrit, dapat dipahami dan mudah dipraktikkan.
Penulis tertartik untuk menelaah konsep wasatiyyat al-Islam dari seorang tokoh ternama yakni Yusuf Qardhawi seorang ulama besar dari Qatar kelahiran Mesir, alumni Universitas Al-Azhar Mesir. Biografi, sepak terjang dan beberapa karyanya baik dalam gerakan dakwah islamiyyah di penjuru dunia, seluruhnya berlandaskan konsep Islam moderat atau wasatiyyat al-Islam, sehingga para Ulama dunia dan masyarakat Islam internasional menerimanya dengan baik dan menjadikannya sebagai konsep pemikiran baru sebagai prinsip implementasi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Jika mengambil dari pendapat M. Muchlis Hanafi bahwa ciri seseorang yang memiliki prinsip wasatiyyah hendaknya memahami realitas (Fiqh al-waqi’), memahami fiqh prioritas (Fiqh al-awlawiyyat), memahami sunnatullah dalam penciptaan, memberikan kemudahan kepada orang lain dalam beragama, memahami teks keagamaan secara komprehensif
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
9 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
serta terbuka dan mengedepankan dialog (Hanafi 2017), maka ciri-ciri ini terdapat dalam pribadi Yusuf Qardhawi dibuktikan dengan ceramah, fatwa dan karya tulisnya. Konsep wasatiyyah yang dirangkum dalam karya utamanya, Fiqh al-wasatiyyah wa al-Tajdid, merupakan pengembangan dari kitab pertamanya dalam yang telah disusun tahun 1960 lalu, yaitu al-Halal wa al-Haram fi al-Islam (Yusuf Qardhawi 2009b). Hal ini menandakan akan prinsip moderat yang telah dibangun sejak lama, semata-mata bukan karena pengaruh pemikiran globalisasi, namun berdasarkan kesadaran intelektual yang dibarengi dengan keluasan dalam pemahaman agama. Wujud pengembangan, pembaharuan, dan penyegaran makna wasatiyyat al-Islam itu sendiri dilakukan dengan alasan urgensitas menghadapi tantangan globalisme dimana para pemerhati ilmu era kontemporer ini telah terbagi menjadi dua bagian, sekelompok yang terlalu silau dengan keilmuan Barat dan mengambil segala argumen karena dianggap lebih dinamis dan relevan dan sekelompok yang terlalu rigid dengan mengikuti taqlid berlebihan dalam suatu mazhab (Yusuf Qardhawi 2009b). Sebagian dari ratusan karyanya menggambarkan ukuran yang proporsional akan sifat moderat yang dimilikinya, hal tersebut dapat dilihat dari judul beberapa karyanya yang menggunakan kata ‘bayna’, seperti al-Sah{wah al-Islamiyyah bayn al-Juh{ud wa al-Tatarruf dan al-Halal wa al-Haram fi al-Islam.2
2 Dalam banyak karya tulisnya Yusuf Qardhawi menggunakan ungkapan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
10 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Tulisan ini akan mengambil fokus dalam toleransi dan keterbukaan sebagai salah satu prinsip wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi sendiri. Toleransi dalam wasatiyyah sendiri berupa keterbukaan yang mengantarkan para pemeluknya untuk memahami sepenuhnya akan adanya perbedaan, dan memaklumi bahwa adanya merupakan kehendak Allah (Yusuf Qardhawi 2000, 25–26). Namun, dengan kerumitan identitas agama sering membuat sebagian golongan jatuh dalam jurang intoleransi, namun disisi lain terdapat beberapa penerapan praktik toleransi yang terkesan serampangan dan terkesan mengaburkan prinsip beragama. Jika dalam prinsip fikih moderasi Hashim Kamali dan Khaled Abou Fadl menggunakan prinsip moderat-humanis, sehingga kritik dalam usul al-fiqh yang belum memenuhi makna dan substansi sebuah teks menjadi dominan, namun dalam wasatiyyah Yusuf Qardhawi prinsip bainiyyah muncul untuk mengakomodir tegaknya Islam berdasarkan prinsip rabbaniyyah (nilai-nilai ketuhanan) dan insaniyyah (nilai-nilai kemanusiaan) sekaligus. Baginya, kedua prinsip itu harus saling melengkapi karena seseorang yang belum dapat memenuhi prinsip rabbaniyyah secara utuh, tidak akan tepat dalam mengaplikasikan prinsip
"baina" (diantara) yang mencerminkan prinsip wasthiyah beliau, seperti al-Fiqhu al-Islamy bayna al-Asa>lah wa Al-Tajdi>d, al-Fatwa Bayna al-Indibat wa Al-Tasayyub, al-Ijtiha>d al-Mu'a>sir Bayna al-Indiba>t wa al-Infira>t, al-Shafa>'ah Bayna al-Aql wa al-Naql, al-Sahwah al-Isla>miyyah Bayna al-Ikhtila>f al-Mashru>' wa al-Tafarruq al-Madzmu>m, al-Thaqa>fah al-‘Arabiyyah al-Isla>miyyah Bayna al-Asalah wal Mu'a>sirah,Thaqa>fatuna> Bayna al-infita>h{ wa al-Inghila>q, dan masih banyak lagi lainnya.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
11 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
kemanusiaan, begitupula sebaliknya (Yusuf Qardhawi 1977, 64). Yusuf Qardhawi pun menghadirkan empat aspek dalam prinsip wasatiyyah Islam, yakni aqidah, ibadah, akhlaq, dan syari’ah. Dimana keempat aspek ini memiliki ukuran masing-masing dalam karakteristiknya (Yusuf Qardhawi 2009b). Karakteristik inilah yang akan menjembatani pemahaman dan kontekstualitas dalam toleransi terhadap pluralitas agama di Indonesia.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
12 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
13 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
BAB 2
KAJIAN EMPIRIK, KONSEP WASATIYYAH, KONSEP TOLERANSI, DAN KERANGKA KONSEPTUAL
2.1 KAJIAN EMPIRIK
Dalam kajian sebelumnya terkait wasatiyyat al-Islam dalam analisis toleransi terhadap pluralitas agama dibagi dalam 2 klasifikasi, yaitu kajian teoretis dan fenomenologis dengan jenis penelitian kualitatif berdasarkan kajian pustaka dan dan literasi gagasan terkait wasatiyyat al-Islam dan kajian yang mengaitkan konsep toleransi terhadap pluralitas agama dengan prinsip ajaran Islam.
Kajian teoretis terkait literasi dalam gagasan wasatiyyat al-Islam telah banyak dilakukan, setidaknya 5 tahun terakhir ini diantaranya:
Tulisan yang dilakukan oleh Abdul Fikri dan Muhammad Joko Susilo dengan judul “Values of Religious Moderation in the Book of Islam the Central Way By Yusuf Qardhawi,” menyajikan analisis terhadap nilai-nilai moderat yang diaktualisasikan dalam kehidupan beragama dari buku Yusuf Qardhawi yang berjudul Islam Jalan Tengah. Hasil ini menyimpulkan bahwa nilai-nilai Moderasi Beragama yang terkandung dalam buku Islam Jalan Tengah karya Yusuf Qardhawi meliputi: nilai komprehensif, nilai relevansi, hikmah, nilai universal, nilai kecukupan, dan nilai eksplorasi sejarah.(Fikri dan Susilo 2023)
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
14 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Tulisan yang dilakukan oleh Muhammad Aniq dengan judul, “Wasatiyyat al-Islam fi Mujtama' Muta'addid Al-Thaqafah Al-Mujtama' Al-Indunisiy Namudhajan” dalam Jurnal Tawasut tahun 2020, dalam penulisan ini menjelaskan akan pentingnya peran wasatiyyah dalam fakta keberagaman di Indonesia. Tulisan ini juga memunculkan peran Perguruan Tinggi dan peran MUI dalam mendukung perkembangan prinsip wasatiyyah di Indonesia (Aniq 2020, 1–18).
Tulisan yang dilakukan oleh Nabila Khalida An-Nadhrah, Casram, dan Wawan Hermawan yang dimuat dalam Jurnal Living Islam, berjudul “Moderasi Beragama menurut Yusuf al-Qardhawi, Quraish Shihab dan Salman al-Farisi.” Yusuf al-Qardhawi adalah ulama internasional yang konsen dalam mengkaji prinsip moderat, Quraish Shihab merupakan ulama mancanegara yang memiliki latar belakang keilmuan di bidang tafsir dan ulumul Qur’an yang memiliki pandangan khusus dari kajiannya terkait wasatiyyah (moderasi), Hasil ini menunjukkan, bahwa ketiga tokoh tersebut, baik Yusuf Al-Qardhawi maupun Quraish Shihab memiliki pemahaman yang sama bahwa moderasi beragama menjadi solusi sebagai penengah di antara pemahaman keagamaan tanpa harus menghilangkan jejak originalitas (asalah) dan moderasi beragama dapat menengahi perbedaan pemahaman dalam beragama, menghindari terjadinya radikalisme dan fanatisme berlebihan dalam beragama bagi penganutnya (Khalida An Nadhrah, Casram, dan Hernawan 2023).
Tulisan yang berjudul, “Formulasi Moderasi Beragama
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
15 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Dalam Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Sebagai Basis Mewujudkan Masyarakat Madani” yang ditulis oleh Dzikrul Hakim Tafuzi dan Uril Bahruddin dalam Jurnal Al-Mubin pada Maret 2023. Temuan ini dilandasi akan munculnya konflik yang berkelanjutan atas nama agama. Dalam penulisan menegaskan akan aspek kesejahteraan dan terbentuknya masyarakat madani dapat dicapai dengan pemahaman moderasi beragama yang baik. Disebutkan pula, bahwa Yusuf Qardhawi menekankan prinsip toleransi yang berlandaskan pada ajaran Islam agar cara pandang umat Islam lebih terbuka dan tidak terbatas pada bias biner antara benar dan salah. Hal inilah yang membantu seorang Muslim dapat lebih jernih dalam menyikapi perbedaan yang ada (Hakim Tafuzi Mu’iz dan Bahruddin 2023).
Tulisan yang berjudul “Pemikiran Islam Wasathiyah Azyumardi Azra sebagai Jalan Moderasi Beragama”, yang disusun oleh Andika Putra, dkk. Dalam tulisan ini diuraikan konsep pemikiran Azyumardi Azra dalam wasatiyyah Islam dan disimpulkan bahwa aktualisasi nilai-nilai moderasi yang telah tercantum dalam Al-Qur’an merupakan jalan terbaik dalam moderasi beragama. Hal ini tak lain demi menciptakan kedamaian dan memberi sumbangsih terhadap peradaban berkeadaban serta kemajuan (Andika Putra et al. 2021).
Tulisan yang dilakukan oleh Syafri Samsudin dalam Program Magister di UIN Raden Intan Lampung dalam judul “Analisis Moderasi Beragama Perspektif Yusuf Al-Qardhawi Dan M. Quraish Shihab Serta Relevansinya Terhadap Pendidikan Agama
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
16 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Islam”. Analisis perbandingan pemikiran kedua tokoh menghasilkan beberapa kesepakatan akan memaknai moderasi sebagai cara terbaik, seimbang, adil, toleran dan tidak esktrim sehingga dapat menjadi sesuatu yang relevan dalam dunia pendidikan Islam.
Sedangkan beberapa tulisan dengan kajian yang mengaitkan konsep toleransi terhadap non-Muslim dalam ajaran Islam diantaranya: Tulisan yang berjudul “Al-Tasamuḥ al-Diniy ‘inda Yusuf al-Qardhawi”, ditulis oleh Zulkifli Reza Fahmi dalam Jurnal of Comparative Study of Religion (CJSR) pada November 2021. Tulisan ini memuat empat nilai dalam konsep toleransi dalam beragama menurut Yusuf Qardhawi. Pertama, toleransi beragama menurut Yusuf al-Qardhawi adalah memberikan kebebasan kepada non-Muslim untuk memilih agamanya dan tidak memaksanya dalam bentuk apapun. Kedua, “titik tolak toleransi beragama adalah kebebasan beragama, persatuan umat, keadilan dan muâmalah dengan non-Muslim. Ketiga, kebebasan beragama didasarkan pada pandangan bahwa perbedaan adalah kehendak Tuhan dan manusia tidak dapat memaksakan diri. untuk menjadikan seluruh umat manusia beriman. Keempat, ada beberapa hal yang boleh bagi umat Islam untuk bersikap toleran terhadap non-Muslim namun ada juga yang tidak diperbolehkan sama sekali, seperti mengakui kebenaran ajaran agama lain dan turut serta dalam beribadah agama lain (Fahmi 2021).
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
17 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Tulisan yang berjudul “Toleransi antar Umat Beragama dalam Perspektif Islam” dalam Jurnal Al-Ubudiyah tahun 2023 yang ditulis oleh Guruh Ryan Aulia. Dalam Tulisan ini disebutkan bahwa prinsip toleransi sangat diperlukan jika ingin mencapai sebuah kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup bermasyarakat antar umat beragam. Dalam hal ini, tiga nilai yang perlu dipahami adalah adanya kebebasan beragama, menjunjung kemanusiaan, dan saling menghormati pluralitas manusia dan agama (Aulia 2023).
Tulisan yang berjudul “Muslim Scholars Interpretation Of Discourse Religious Tolerance Verses: The Cases of Quraish Shihab, Yusuf Qaradawi, and Khaled Abou el-Fadl in Qur’ān 60: 8-9” dalam Journal of Namibian Studies : History Politics Culture, yang disusun oleh M. Jamil, Muhammad Faisal Hamdani, Iman Jauhari, M. Ja’far, dan Dahlan. Tulisan ini mengkaji nilai toleransi dari tiga ulama berangkat atas interpretasi dua ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Mumtahanah. Pertama, Shihab memaknai ayat ini sebagai prinsip dasar hubungan antara umat Islam dan non-Muslim dengan Tuhan dalam hubungan antarmanusia. Qaradawi menempatkan ayat ini sebagai wujud toleransi dan sikap wasaṭiyyah (moderat) dalam hukum Islam. Sementara itu, el-Fadl menganggap ayat ini berfungsi sebagai tandingan terhadap ayat-ayat perang (jihad) yang selama ini disalahartikan oleh kaum tradisionalis dalam pemikiran Islam. Kedua, Qaradawi dan el-Fadl menolak pemaknaan Al-Qur’an 60:8-9 secara harafiah dan ahistoris oleh orang-orang yang
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
18 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
menurut mereka tidak bisa melihat dinamika Islam dengan persoalan kekinian. Ketiga, dari aspek hubungan antaragama, Shihab dan Qaradawi mempunyai suara yang sama dalam hubungan antaragama (M. Jamil et al. 2023).
Uraian tulisan dari topik yang serupa menunjukkan bahwa gagasan wasatiyyat al-Islam sangat diperlukan dalam beragama untuk menghindari sifat ektremisme dan radikalisme yang berujung pada konflik. Dalam kajian-kajian tersebut hampir secara keseluruhan membahasakan wasat dengan arti moderat, walaupun secara linguistik, akan ditemukan makna yang lebih luas dan mendalam. Begitupula dalam kajian toleransi, topik-topik terdahulu lebih menekankan sikap keterbukaan dalam menghadapi perbedaan demi mewujudkan perdamaian dan kerukunan.
Tabel 2.1
No
Judul
Persamaan
Perbedaan
1
“Values of Religious Moderation in the Book of Islam the Central Way By Yusuf Qardhawi,”
Analisis terhadap nilai-nilai moderat yang diaktualisasikan dalam kehidupan beragama pemikiran Yusuf Qardhawi
Nilai kesimpulan yang diambil dari salah satu karya Qardhawi yang berjudul 'Islam Jalan Tengah'
2
“Wasatiyyat al-Islam Fii Mujtama' Muta'addid Ath-Thaqafah Al-Mujtama' Al-Indunisiy Namudzajan”
Pembahasan tentang pentingnya prinsip wasatiyyah dalam keberagaman
Pembahasan seputar Wasatiyyah dalam keragaman di Indonesia dan tidak mengkhususkan pada studi pemikiran tokoh
3
“Moderasi Beragama menurut
Pembahasan tentang pentingnya prinsip
Kajian pemikiran dalam perbandingan 3 tokoh
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
19 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Yusuf al-Qardhawi, Quraish Shihab dan Salman al-Farisi.”
wasatiyyah dalam mewujudkan kedamaian dalam keberagaman
dari Ulama Kontemporer
4
“Pemikiran Islam Wasatiyyah Azyumardi Azra sebagai Jalan Moderasi Beragama”
Kajian tentang Islam Wasatiyyah
Kajian pemikiran dengan tokoh yang berbeda, yakni Azyumardi Azra
5
“Analisis Moderasi Beragama Perspektif Yusuf Al-Qardhawi Dan M. Quraish Shihab Serta Relevansinya Terhadap Pendidikan Agama Islam”.
Kajian pemikiran dalam prinsip wasatiyyah
Mencari relevansi prinsip wasatiyyah dalam pendidikan Islam
6
“Al-Tasâmuḥ al-Dîniy ‘inda Yûsuf al-Qardhâwi”
Kajian tentang konsep kebebasan dan toleransi Yusuf Qardhawi terhadap non-Muslim
Belum menekankan pada konsep wasatiyyah dalam konstekstualisasi prinsip toleransi
7
“Toleransi antar umat Beragama dalam Perspektif Islam”
Kajian terhadap toleransi antar umat beragama
Tidak mengambil pemikiran tokoh tertentu dalam kajian
8
“Muslim Scholars Interpretation Of Discourse Religious Tolerance Verses: The Cases of Quraish Shihab, Yusuf Qaradawi, and Khaled Abou el-Fadl in Qur’ān
Kajian terhadap toleransi antar umat beragama
Kajian pemikiran dalam perbandingan 3 tokoh dari Ulama Kontemporer dengan latarbelakang lingkungan yang berbeda-beda terhadap penafisran ayat Al-Qur'an
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
20 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
60: 8-9”
Penulis menyadari bahwa pembahasan terkait pemikiran Yusuf Qardhawi dari telaah kitabnya telah banyak dilakukan, begitu pula tentang wasatiyyat al-Islam, namun dari sini penulis akan lebih fokus kepada pendeskripsian diikuti dengan analisa hermeneutik untuk mencapai kesimpulan dalam dalam kontekstualitas pemikiran wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi dalam ranah toleransi terhadap pluralitas agama di Indonesia.
2.2 KONSEP WASATIYYAH
Secara etimologis, kata wasatiyyah (وسطية ) adalah bahasa Arab, diambil dari kata "wasata" (وسط ) atau “al-wasatu" (الوسط ). Kata yang diambil dari bahasa Arab, yakni "wasat " (وسط ) adalah jenis kata keterangan tempat (zaraf) artinya "bayn" (بين ) di antara, kalau dikatakan "jalastu wasat al-qaumi" ( جلست وسط
القوم ) saya duduk di tengah-tengah kaum (Al-Mandhur 1884). Sedang kata "al-wasatu" (الوسط ) mempunyai beberapa makna yang saling berdekatan, diantaranya:
a. Tengah (Tempat atau posisi di antara kedua ujung).(Al-Mandhur 1884, 427) Seperti ungkapan "masaktu wasat al-habli" (مسكت وسط الحبل ) Saya memegang tengah-tengah tambang, atau "Qata'tu wasata al-qausi" (قطعت وسط القوس ), Saya patahkan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
21 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
tengahnya busur, atau "jalastu wasata al-dari" ( جلست
وسط الدار ), Saya duduk di tengah-tengah rumah.
b. Kata sifat artinya "khiyar" (خيار ) yang terbaik dan "afdal" (أفضل ) yang paling utama. Seperti tengah-tengah tempat pengembalaan adalah lokasi yang paling baik, tengahnya kalung artinya tempat mutiara atau berlian yang paling mahal, dan kalau dikatakan rajulun wasat (رجل وسط ), maksudnya adalah orang yang baik (Al-Mandhur 1884, 430).
c. Keadilan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Faris di atas.
d. Sedang, sesuatu di antara yang baik dan yang jelek, menurut al-Jauhari dalam kamus Al-Shihah dan juga kamus al-Mishbah al-Munir.
Menurut Muhammad bin Mukrim bin Mandhur al-Afriqy al-Masry, kata al-wasat sering juga disebut dengan istilah “moderat” yang berarti sesuatu yang berada diantara dua sisi. Menurut Hasyim Muzadi, al-wasatiyyah atau moderat diartikan sebagai keseimbangan antara keyakinan yang kokoh dengan toleransi (Kusuma 2020).
Dalam perspektif Quraish Shihab, istilah wasatiyyah disimpulkan sebagai upaya menyeimbangkan atau melaraskan segala persoalan hidup, baik ukhrawi maupun duniawi. Hal ini pun dapat diaplikasikan secara maksimal dengan segala upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang terjadi dihadapannya berdasarkan petunjuk agama (Shihab 2020, 43).
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
22 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Bagi Imarah, wasatiyyah dalam Islam benar-benar merupakan posisi ketiga yang berbeda, posisi baru sama sekali. Tetapi posisinya di antara dua hal yang bertolak belakang, tidak berarti dia sebagai tempat tumbuhnya hubungan dengan karakter-karakter yang ada di kedua sisinya, atau dengan unsur-unsur pembentuk pada keduanya. Wasatiyyah berbeda dengan kedua titik ujungnya, tetapi tidak dalam segala hal. Perbedaannya semata-mata terletak pada penolakannya pada karakter eksklusifitas (ketertutupan) dari masing-masing ujung. Wasatiyyah menolak memandang segala sesuatu hanya dengan satu mata atau dari satu sudut pandang. Penolakan wasatiyyah terpusat pada kecenderungan dalam berlebih-lebihan atau berlebih-lebihan dalam kecenderungan (Imarah 1991).
Sedang menurut Yusuf Qardhawi, sebagai tokoh yang akan dibahas pemikirannya dalam penelitian ini memiliki makna yang beragam dalam mengungkap makna ‘wasatiyyah’. Baginya wasatiyyah dapat dimaknai dengan adil, istiqomah, tanda yang menunjukkan akan kebaikan atau kekuatan, dan pusat pemersatu (Yusuf Qardhawi 1977).
2.3 KONSEP TOLERANSI
Secara etimologis, asal kata toleransi dari bahasa latin yaitu ‘tolerare’ artinya sabar terhadap sesuatu(Abu Bakar 2015, 123), dalam bahasa Inggris disebut tolerance dengan definisinya “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).(Abu Bakar 2015, 125) Sedang Islam menyebut
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
23 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
toleransi dengan lafadh tasamuh. Tasamuh memiliki kandungan makna yang berarti membiarakan dan lapang dada (M. Rais 2020).
Terdapat dua macam definisi dari konsep toleransi menurut Mashkuri Abdullah. Definisi pertama dari toleransi ialah cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti kelompok lain. Sedang definisi kedua lebih dari apa yang dimaksud dari sekedar tidak menyakiti, karena sikap toleransi pun membutuhkan adanya dukungan atau bantuan. Maksudnya, dalam toleransi tidak cukup dengan pengetahuan, namun aplikasi dalam perbuatan yang menunjukkan adanya bantuan atau dukungan terhadap kelompok lain pun diperlukan (Zainuddin 2020, 24).
Sedang menurut Sayyid Qutb toleransi mencakup beberapa hal, yaitu tidak adanya penghalang atas kebebasan setiap manusia untuk mendapatkan ajaran agamanya, bebas ancaman, fitnah dan berhaknya perlindungan atas agama apapun dan siapapun hingga berhak untuk tidak dimurtadkan dari agamanya dengan jalan apapun. Namun, dalam hal beragama, toleransi tetap ada batasan dalam ranah aqidah. Hingga tidak mencampurkan aqidah satu dengan lainnya (Quthb 1982, 222).
Konteks sejarah umat Islam telah mengajarkan toleransi sejak awal turunnya ajaran agama melalui risalah Nabi Muhammad SAW. Selain dalam seruan dalam pemurnian tauhid, tujuan diutusnya juga berperan dalam memperbaiki sikap dan moralitas manusia yang saling terpecah belah,
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
24 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
intoleran dan saling bermusuhan. Maka, Moeslim Abdurrahman menggambarkan Islam sebagai agama yang tumbuh dengan jiwa toleransi sejak awal kemunculannya (Mukmin dan Nopriansyah 2017, 29).
Menghadapi fenomena dalam realitas pluralitas agama, muncullah konsep baru, yang dikenal dengan pluralisme. Makna pluralisme yang diambil dari berbagai kamus dapat disederhanakan dalam dua pengertian: pertama, pengakuan terhadap keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, agama, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek perbedaan karakteristik antar kelompok-kelompok tersebut. Kedua, doktrin yang memandang bahwa tidak ada pendapat yang benar atau kebenaran semua pendapat dianggap sama (No view is true, or that all view are equally true) (Nuriz 2015, 1). Konsep pluralisme muncul dengan berbagai pendapat, diantaranya:
a. Global Theology John Hick
b. John Hick menafsirkan fenomena pluralitas agama dengan mengungkapkan bahwa kehidupan spiritual manusia tidak akan tetap, melainkan selalu berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan masa dan perkembangan akal manusia (Hick 1963, 112–13). Mengikuti pandangan Smith, terminologi agama saat ini sangat problematis, kontroversial, ambigu, dan mengandung polemik, karena keberagaman agama belum bisa mewujudkan universal friendship dan cenderung menjadi
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
25 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
penyebab perpecahan (Smith 1978, 8). Jika tidak memungkinkan mewujudkan agama universal, maka wacana keagamaan lintas kultural menurut Hick dapat dibungkus dalam kemasan Global Theology (teologi global). Karena konsep ini dianggap lebih relevan untuk diaplikasikan dalam fenomena pluralitas agama. Dapat disimpulkan bahwa secara mayoritas mengajarkan kebenaran, dari sinilah timbul pengertian tidak ada agama yang lebih benar dengan penilaian yang diambil secara obyektif (Hick 2010).
c. Untuk mencapai upaya teologi global, Hick menggulirkan sebuah transformasi dari pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan. Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa jalan keselamatan tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang dilalui manusia sebagai respon terhadap realitas Ketuhanan yang absolut (Saifulloh 2015, 23–24).
d. Religious Pluralism Komaruddin Hidayat
e. Kebutuhan dalam pluralitas bahasa dan budaya menjadikan seseorang untuk berhak menerima dan mendukung paham pluralisme agama. Pengembangan pemikiran teologis dengan dengan pandangan inklusivitas dan pluralisme agama bertindak untuk mengurangi konflik dan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
26 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
menjadikan seseorang lebih dewasa dalam menghargai suatu agama.
f. Pluralis bukan berarti memandang semua agama adalah sama, tetapi setidaknya memberi ruang terhadap kebenaran agama lain. Selain fakta sosial, keragaman dalam kemajemukan adalah kehendak Tuhan dan bukti akan kebesaran-Nya. Pluralisme pun bukan berarti relativis yang tidak memiliki arti pendirian, namun kecenderungan untuk tidak menyalahkan saat muncul perbedaan dengan kepercayaan bahwa setiap orang sejatinya ingin terus mencari kebenaran dan akan mempertahankan keyakinan berdasarkan pengetahan dan tradisinya (Naim 2020, 56).
g. Islamic Worldview Adian Husaini
h. Adian Husaini seorang intelektual yang berjalan sejalan dengan fatwa MUI akan penolakan paham pluralisme dalam menyikapi pluralitas agama. Maksud pluralisme disini adalah, pemahaman yang mengajarkan bahwa semua agama sama hingga membawa kepada pendapat bahwa kebenaran adalah relatif (Naim 2020, 67).
Keganjilan dalam pluralisme agama dengan menolak ‘klaim kebenaran’ dari setiap pemeluk agama malah menunjukkan penolakan terhadap keberagaman di waktu yang bersamaan. Pemaksaan untuk melepaskan klaim kebenarannya masing-masing untuk berpindah pada satu keyakinan, bahwa
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
27 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
‘semuanya benar’ justru menunjukkan paradoks anti-pluralisme (Husaini 2021, 175).
2.4 KERANGKA KONSEPTUAL
Konsentrasi umat Islam untuk mencapai universalisme ajaran agamanya nampak dengan semangat menegakkan kembali nilai-nilai wasatiyyah, hanya saja konsentrasi mayoritas Muslim seakan hanya menghindari label radikal, ekstrem, liberal atau istilah lainnya yang dianggap tidak menegakkan prinsip moderatisme atau wasatiyyah. Maka dalam menggali pengertian dan mencapai mendapat pemahaman konkrit, penulis akan memulai pembahasan dari konsep wasatiyyah secara umum.
Kerangka konseptual yang disusun untuk menyelesaikan penelitian ini, sebagai berikut :
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
28 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
29 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
BAB 3
BIOGRAFI YUSUF QARDHAWI
3.1 LATAR BELAKANG KEHIDUPAN
3.1.1 Keluarga dan Masa Kecilnya
Qardhawi lahir pada tanggal 9 September 1926 (Jakfar 2011, 36) di Saft Turab, kampung kecil sederhana di Mesir yang jauh dari pengaruh teknologi modern. Terletak sekitar 21 kilo dari ibukota kota Tanta. Nama lengkapnya Yusuf bin Abdillah bin Ali bin Yusuf, lebih dikenal dengan Yusuf Qardhawi. Dinamakan Yusuf, mengambil nama salah satu pamannya yang telah wafat sebelum memiliki anak (keturunan), sekaligus nama dari kakek dari pamannya.Yusuf Qardhawi, “Suroh an-Usroti al-Qaradawiyyah,” Mauqi’u Simah{ati ash-Shaikh Yusuf Al-Qaradawi, September 2020. Sedang, Qardhawi adalah nama yang dinisbatkan dari kakeknya, Al-Hajj Ali Qardhawi. Qardhawi sendiri diambil dari nama kota asal nenek moyangnya, Qardhah. Dengan penisbatan pada kota tersebut maka muncullah sebutan Qaradawi. Sedang ibunya berasal dari keluarga al-Hajar, keluarga pedagang yang terkenal kecerdasannya.
Menginjak 2 tahun dari umurnya, ia menjadi yatim, ayahnya wafat dengan penyakit yang dideritanya. Maka sepeninggal ayahnya, pengasuhan diserahkan kepada salah satu pamannya, bernama Ahmad (Yusuf Qardhawi 2002, 79). Sedang ibunya, tetap tinggal di rumah keluarga bersama
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
30 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
putranya.
Qardhawi menggambarkan tempat kelahirannya (Saft Turab) sebagai kampung yang jauh dari berbagai fasilitas kemajuan, sulit untuk mendapatkan air, juga belum tersedia listrik dan jalanan beraspal (Yusuf Qardhawi 2002, 2). Tidak banyak dari masyarakat yang memiliki harta mencapai nishab zakat, kecuali sebagian kecil dari mereka dan itupun dibagikan secara diam-diam kepada kerabat atau tetangganya (Yusuf Qardhawi 2002, 11–12). Sebagaimana menjadi kebiasaan di lingkungan kecilnya, sangat erat dengan kegiatan keagamaan, disiplin dalam mendirikan sholat lima waktu, beristirahat setelah sholat Isya’ dan terbangun saat fajar untuk memulai kegiatan harian.
Qardhawi kecil difokuskan pada pendidikan Qur’an dan dimasukkan pada sebuah kuttab (madrasah Qur’an) dibawah bimbingan Shaikh Hamid Abu Zuwail dan dapat menyempurnakan hafalan 30 juz sebelm menginjak umur 10 tahun (tepatnya sembilan tahun sepuluh bulan). Dengannya, masyarakat di kampung memanggilnya dengan panggilan kehormatan “Shaikh Yusuf” penghafal Qur’an. Mereka juga sering menunjuk Qardhawi sebagai imam shalat (Yusuf Qardhawi 2002).
Disamping kegiatan di kuttab, sejak umur tujuh tahun Qardhawi juga memiliki kegiatan di sekolah dasar ilzamiyyah. Maka, rutinitas hariannya sangat padat dimana ia berangkat ke kuttab pada pagi hari dan siang harinya setelah Dzuhur berangkat ke sekolah dasar. Setelah tamat dari sekolah dasar,
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
31 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
ia meneruskan studinya di Ma’had al-Diniy di kota Tanta3, salahsatu lembaga dari cabang Al-Azhar. Prestasinya pun mulai nampak karena selalu unggul dengan mendapatkan peringkat tertinggi diantara teman-temannya (Fitrah dan Hamka 2022, 5).
Sejak kecil, Qardhawi memiliki hobi membaca, baik buku pelajaran sekolahnya maupun buku lainnya. Namun, dengan kondisi keterbatasan keluarga dan lingkungannya tidak banyak buku yang bisa dia baca, terlebih desa kecilnya tidak memiliki perpustakaan. Maka, ia seringkali membaca buku-buku tasawuf yang ada dan menjadi bacaan akrabnya. Dengan inilah, diketahui bahwa kekentalan spiritual yang terpatri dalam pembentukan kepribadiannya merupakan pengaruh dari bacaan-bacaan tersebut (Yusuf Qardhawi 2004, 7).
Ketika belajar di ma'had diny (sekolah agama) di Tanta mulai tampak potensi dirinya dalam kemahiran pada bidang sastra dan syair. Di antara buku-buku yang menjadi bacaan favoritnya adalah karya Musthofa Luthfi al-Manfaluthi dan Rafi'i, kadang juga membaca karya al-‘Aqqad. Pada saat itulah ia mulai mengenal dan membaca majalah Ikhwanul Muslimin, melalui perantaraan majalah ini, Qardhawi mengenal keluasan ilmu Shaikh Muhammad Ghazali dan sangat terkesan (Yusuf Qardhawi 2004, 7). Pengaruh karya-karya sastra yang mulai dikenalnya sejak muda cukup kuat membekas dalam diri Qardhawi. Hal itu dapat dirasakan siapapun yang membaca
3 Ibukota provinsi Gharbiyyah yang terletak 22 kilometer dari Saft Tura>b. Kota terbesar ketiga di Mesir, setelah Kairo dan Iskandariyah (5)
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
32 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
karya-karya ilmiah, khutbah dan ceramahnya, yang sarat dengan sentuhan sastra yang halus dan indah, sehingga menjadi daya tarik sendiri. Qardhawi juga mempunyai beberapa buku kumpulan syair dan naskah drama yang ditulis sejak masa mudanya.
Menginjak tahun pertama pada tingkat ibtidaiyyah, ibunya wafat setelah beberapa hari mengalami demam. Maka dengannya, Qardhawi telah kehilangan kedua orangtuanya. Namun, pengalaman berharga yang didapati adalah pertama kalinya mendengarkan ceramah Hasan al-Banna dan merasa tertarik dengan pemikirannya yang kemudian hari banyak mempengaruhi orientasi hidupnya. Dari situlah, ia banyak mengikuti dan menyimak ceramah Hasan al-Banna yang baginya memberikan spirit yang berbeda. Pada tahun keempat ibtidaiyyah, ia baru memutuskan untuk bergabung dan mendaftarkan diri menjadi anggota Ikhwanul Muslimin. Saat itu pula diamanahkan menjadi pengurus di bidang kesiswaan hingga namanya pun mulai dikenal luas (Fitrah dan Hamka 2022, 5).
Qardhawi meneruskan pendidikan di Ma’had al-Diniy hingga tingkat thanawiyyah kemudian mengenyam pendidikan jenjang kuliah di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo. Menamatkan studinya dengan prestasi gemilang dan lulus dengan predikat mahasiswa terbaik. Pada tahun 1957, Qardhawi melanjutkan studi Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian Masalah-masalah Islam dan Perkembangannya selama tiga tahun sekaligus mengambil program magister
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
33 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dengan konsentrasi Tafsir Hadith dan lulus pada tahun 1960 dan kembali mendapat predikat lulusan terbaik dari 500 mahasiswa lainnya (Fitrah dan Hamka 2022, 6). Pada tahun 1972 berhasil menyelesaikan program doktoral dengan disertasi Fiqh Zakat dan lulus dengan predikat cumlaude (Faruq dan Warsito 2023, 73). Kelulusan dalam studi doktoral yang diambil sedikit mundur dari perkiraan awal, disebabkan dalam masa studinya Qardhawi sempat ditahan oleh penguasa Mesir dan dipenjara selama dua tahun. Setelah bebas dari tahanan, ia hijrah ke Doha, Qatar (Fitrah dan Hamka 2022, 6).
3.1.2 Masa Remaja Qardhawi dan keanggotaanya dalam Ikhwanul Muslimin
Kesederhanaan hidup dan kedisiplinan dalam spiritual dan intelektual membentuk pribadi Qardhawi yang banyak memiliki keunggulan. Keberanian sejak kecilnya pun terlatih dengan terbiasa menjadi imam masjid di daerah dimana ia tinggal. Pengalaman berdakwah pun dimulai sejak duduk di tingkat ibtidaiyyah ma’had al-diniy, tahun kedua, adalah pertama kalinya ia dimnta menjadi penceramah agama di kampung kelahirannya, Saft Turab (Jakfar 2011, 52).
Qardhawi bergabung dalam keanggotaan Ikhwanul Muslimin (organisasi yang didirikan tahun 1928 di Mesir) pada usia mudanya tepatnya pada tahun 1949 saat itu pemerintahan Mesir dipimpin oleh Raja Faruq (Faruq dan Warsito 2023, 73). Ia kemudian mengundurkan diri dari keanggotaan aktifnya namun tetap menjadi salah satu tokoh intelektual dan spiritual
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
34 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
terkemuka (Graf 2022). Bergabungnya dengan organisasi Ikhawanul Muslimin disebabkan oleh kekagumannya dengan pemikiran Hasan Al-Banna. Baginya, pemikiran al-Banna mengandung nilai ajaran Islam yang murni tanpa pengaruh peradaban Barat atau para penjajah dunia Islam, termasuk Mesir (Ridho 2023). Maka, sejak memasuki kelas empat dari tingkat ibtidaiyyah, Qardhawi mulai diminta menjadi khatib pada shalat Jum’at di Masjid Jami’ Mutawalli. Kesan baik bermunculan dari para ulama maupun siswa Al-Azhar yang menyimak khutbahnya. Bagi mereka materi dan penyampaiannya disampaikan dengan baik sehingga mencerminkan karakter yang orisinil (Jakfar 2011, 53).
Bergabungnya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin mempengaruhi sebagian besar dari orientasi hidup dan perjuangannya. Jika pada sebelumnya ia lebih menggandrungi bidang sastra Arab, maka perkenalannya dengan organisasi yang dimpimpin Hassan al-Banna ini, ia mulai menekuni bidang dakwah. Demikian pula dalam dirinya mulai tumbuh kecenderungan perjuangan jamaah, sebagaimana arus gerakan Ikhwanul Muslimin yang bersifat universal, mendidik kader pejuang yang mendalami agama dengan pemahaman yang benar, mengimani, serta memperjuangkannya (Annadawi 2001). Ikhwanul Muslimin sendiri melakukan advokasi seperangkat aturan Islam di semua bidang kehidupan dan berjuang melawan perampasan Mesir oleh penjajah Inggris (Graf 2018).
Pada tahun 1949, Qardhawi sempat ditahan di penjara
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
35 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dengan keanggotaannya dalam organisasi Ikhwanul Muslimin.4 Sedang Hasan Al-Banna sebagai pemimpin organisasi telah gugur dibawah kuasa pemerintahan Mesir yang menganggap dakwah Ikhwanul Muslimin ini adalah dakwah bercorak salafi, tarekat sunni, hakikat sufi yang berdiri sekaligus sebagai organisasi politik dan pendidikan, juga sebagai badan usaha perekonomian dan pemikiran sosialis. Hal ini tak lain karena pengatahuan Al-Banna terkait Islam secara komprehensif mengantarkan dakwah yang diembannya mencakup berbagai aspek kehidupan (Al-Hafni 2016, 93–94).
Keanggotaan Qardhawi dalam Ikhwanul Muslimin dan peran sebagai aktivis gerakan tersebut kembali menyebabkan dirinya dipenjarakan dua kali pada tahun 1954. Bulan Januari ia dipenjara selama dua bulan, dan kembali dipenjarakan selama 20 bulan pada November 1954 bersama ribuan pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin lainnya. Sejak keluar dari penjara yang ketiga kalinya, mulai tahun 1956 pemerintah revolusioner melarang sepenuhnya aktivitas dari Ikhwanul Muslimin. Qardhawi pun tidak menemukan sarana berdakwah yang efisien kecuali melalui tulisannya yang diwujudkan dalam beberapa judul buku dan tema-tema tertentu dalam majalah ‘Mimbar Islam’. Buku pertama yang berhasil diselesaikan adalah al-Halal wa al-Haram fi al-Islam dan diterbitkan pada tahun 1960. Dengan keterbatasan pergerakan karena tekanan pemerintahan, Qardhawi meninggalkan Mesir pada tahun
4 Ketika itu Qardhawi masih menjadi siswa di Ma'had Tanta pada tahun kelima.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
36 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
1961 seperti kebanyakan anggota Ikhwanul Muslimin lainnya dan tinggal di Doha, Qatar dan menetap disana bersama keluarganya (Graf 2018, 180).
3.2 PERAN DAN PENGALAMAN DALAM DUNIA INTERNASIONAL
Menginjak usia 35 tahun, Qardhawi meninggalkan Kairo menuju Doha, seperti yang juga dilakukan oleh banyak dari anggota Ikhwanul Muslimin setelah bebas dari penahanan penguasa Mesir. Ia menetap di sana, menikah dengan seorang wanita yang berasal dari keluarga Hasyimiah Husainiyah bernama Ummu Muhammad dan dikarunai dari empat anak perempuan dan 3 anak laki-laki. Qardhawi pada akhirnya resmi menjadi warga negara Qatar. Di sanalah ia memulai karirnya sebagai ulama yang terkenal secara internasional dan mufti media global (Graf 2022).
Qatar adalah negara yang dapat membentuk suasana baru dalam perjalanan hidup Qardhawi. Dia mulai aktif berdakwah dan memberi pelajaran agama selama bulan Ramadhan serta ikut berperan penting dalam membentuk sistem pendidikan agama di Doha. Baginya, Qatar lebih memberikan ruang sehingga baginya dapat leluasa berdiskusi, mengadakan pertemuan-pertemuan, termasuk mengundang para ulama dan cendekiawan ataupun aktivis Ikhwanul Muslimin. Dengan pengakuannya, di sinilah ia mendapat ketenangan. Meskipun begitu ia tetap melakukan kunjungan rutin ke Mesir sejak Anwar Sadat menggantikan Nasser
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
37 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
menjadi menjadi presiden (Graf 2018, 180).
Tahun 1973 setelah dinyatakan lulus dari program doktoralnya, Qardhawi ditunjuk menjadi Direktur Departemen Studi Islam di Universitas Qatar, yang mana terus berkembang dan berubah menjadi Fakultas Syariah pada tahun 1977. Qardhawi berdiri menjadi dekan dalam jangka waktu yang sangat lama hingga pensiun di tahun 1990. Selain menjabat sebagai dekan, pada tahun 1980 ia pun mendirikan Pusat Sunnah dan Studi Sirah yang juga merupakan bagian dari Universitas Qatar. Pusat Sunnah dan Studi Sirah pun bergerak dalam dunia elektronik dan mengisi portal IslamOnline.net dalam pergerakannya. Setelah pensiun tahun 1990, menyibukkan diri untuk tahun ajaran 1990-1991 dosen tamu di Aljazair (Graf 2018, 180–81).
Dalam buku yang diterbitkan tahun 2001, berjudul Hadyu al- Islam Fatawa Mu’asirah, dan dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, dalam bahasa Indonesia diberi judul Fatwa-fatwa Kontemporer jilid 3 adalah edisi istimewa dimana terjadi revolusi komunikasi sehingga berkesempatan untuk menjawab pertanyaan yang berasal dari berbagai penjuru dunia, baik dunia Islam maupun dunia luar (minoritas Islam). Beberapa bagian dari fatwa yang dituliskan pun telah diadopsi oleh Majelis Fatwa dan Riset Islam Eropa, yaitu lembaga yang membantu kaum muslimin di Eropa yang mayoritas non-muslim, sehingga dapat menjalankan kehidupan Islam secara kaffah, jauh dari sikap permisifisme maupun ekstrim. Dari lembaga resmi yang keanggotaanya terdiri dari mayoritas
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
38 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
ulama yang tinggal di Eropa dan beberapa ulama dari Timur, Qardhawi ditunjuk dan diamanahi untuk memimpin lembaga tersebut.(Yusuf Qardhawi 2008b, 23).
Lompatan Qaradawi menuju ketenaran internasional bertepatan dengan penyebaran saluran TV satelit di Timur Tengah. Dia memiliki acaranya sendiri di Al Jazeera, berjudul “Sharia and Life,” di mana dia berbicara tentang agama dan memberikan fatwa langsung kepada penelepon dari Timur Tengah, Asia Selatan dan Eropa. Di saluran yang sama, ia muncul dalam debat langsung berdurasi 135 menit yang dipublikasikan secara luas dengan salah satu intelektual sekuler paling ikonik di kawasan ini, Sadiq Jalal al-Azm, pada akhir tahun 1990an (Hassan 2022). Dalam kesempatan wawancara dengan saluran TV Abu Dhabi seorang tokoh menyebutkan bahwa program TV satelit yang disiarkan Yusuf Qardhawi telah memberikan pengaruh revolusi kebudayaan di lingkungannya (Yusuf Qardhawi 2008b, 25).
Qardhawi tidak kembali bergabung dengan jamaah Ikhwanul Muslimin walaupun sempat diminta untuk menjadi murshid ‘am dua kali. Penawaran kedua diajukan pada tahun 2002 sepeninggal Musthafa Masyhur. Pada Februari tahun 2011 Qardhawi sempat kembali ke Kairo, Mesir untuk memimpin doa di depan Gedung Pembebasan, seminggu setalah terjadi pemberontakan rakyat yang menggulingkan Presiden lama, Hosni Mubarak (Graf 2018, 181).
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
39 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
3.3 PENGHARGAAN DAN PRESTASI
Yusuf Qardhawi telah menampakkan keunggulan dan prestasinya sejak kecil. Tak mengherankan jika ia mendapatkan penghargaan melimpah, dan diantara penghargaan Internasional yang diperolehnya sebagai berikut: (Amin 2009)
1. Tahun 1411 Hijriyah mendapat penghargaan dari IDB Islamic Development Bank atas jasa-jasanya dalam bidang perbankan.
2. Tahun 1413 Hijriyah mendapat penghargaan dari King Faisal Award bersama Sayyid Sabiq karena jasa-jasanya dalam bidang keislaman.
3. Tahun 1996, mendapat penghargaan dari Universitas Islam antar Bangsa Malaysia atas jasa-jasanya dalam ilmu pengetahuan
4. Tahun 1997, mendapat penghargaan dari Sultan Brunei Darussalam atas kontribusinya dalam bidang Fiqh
5. Tahun 2000, terpilih sebagai figur muslim berkepribadian Islami dalam Dubai International Holy Qur’an Award.
6. Penghargaan dari Emir Qatar, Shaikh Hamad bin Khalifa atas prestasi dalam bidang studi Islam tahun 2009.
7. Penghargaan dari Raja Malaysia, Mizan Zainal Abidin dalam momen ‘Hijrah Nabi’ tahun 2009. Penghargaan yang diberikan atas keilmuan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
40 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Qardhawi dan luasnya kontribusi dalam melayani umat Islam serta upayanya dalam memperhatikan perkembangan budaya Islam.
3.4 GURU-GURU YUSUF QARDHAWI
Beberapa sosok yang pernah menjadi guru/ murabbiy dalam menemani perjalanan intelektual Yusuf Qardhawi diantaranya:
1. Shaikh Yamani Murad
Qardhawi kecil diarahkan untuk mengikuti pembelajaran pada salah satu kuttab yang diasuh oleh Shaikh Yamani Murad, namun tidak bertahan lama disebabkan ia pernah menjadi salah satu murid yang terkena pukulan tanpa alasan. Kemungkinan yang terjadi, disebabkan semangatnya yang tinggi, Shaikh Yamani Murad memberikan pukulan sebagai motivasi dan semangat bagi para murid-muridnya. Namun, Qardhawi merasa kurang cocok dengan hal itu (Ila al-Kuttab thumma al-Madrasah al-Ilzamiyyah 2020).
2. Shaikh Hamid Abu Zewail
Setelah memutuskan untuk berhenti berangkat ke majlis Shaikh Yamani, Qardhawi dititipkan untuk belajar dengan Shaikh Hamid, dan dengannya ia mulai menghafal Al-Qur’an dari juz ‘Amma, menghafal sifat-sifat wajib Allah, dan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
41 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
belajar menulis. Shaikh Hamid adalah sosok yang sabar dan bijaksana dalam menuntun dan menemani seluruh muridnya. Beliau memberikan beberapa catatan penting terkait ayat mutashabihat. Karakter baik beliau lah yang menjadikan Qardhawi kecil bersemangat unutk menghafal Al-Qur’an.
3. Shaikh Muhammad Sya’at
Beliau adalah guru favorit Yusuf Qardhawi dalam tata bahasa. Termasuk menantunya, Shaikh Rajab Zabadi pun ahli dalam bidang tata bahasa dan menjadi guru Qardhawi di bangku kelas dua (Abid 2021).
4. Shaikh Mahmoud ad-Diftar
Beliau adalah guru Yusuf Qardhawi dalam fikih Hanafi. Shaikh Mahmoud adalah orang yang berkompeten, meskipun ia buta.
5. Shaikh Hasan al-Banna
Hasan al-Banna merupakan tokoh kharismatik yang sangat dikagumi Qardhawi. Sebagai pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hasan al-Banna dianggap mampu menggabungkan antara pemikiran keagamaan dan politik, antara unsur spiritual dan semangat jihad, begitu juga dalam idealisme dan pergerakannya. Darinya, Qardhawi mengambil semangat dan meniru alur dakwah yang diterapkan (Ahmad Putra dan Rumondor 2020, 3).
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
42 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
6. Shaikh Bahi al-Khouli
Shaikh Bahi al-Khouli adalah seorang professor yang menjadi guru Yusuf Qardhawi dalam bidang geografi pada kelas empat sekolah dasar. Namun Qardhawi mengakui kelemahannya dalam bidang geografi karena dua alasan, yakni tidak pandai menggambar peta dan dan kesulitan menghafal nama negara dan lokasi sejenisnya (Abid 2021).
Sebagai sosok kharismatik dan memiliki pengaruh yang besar dalam keilmuan, puluhan ulama lain yang tidak disebut dalam uraian diatas, juga sempat menjadi guru Yusuf Qardhawi diantaranya Shaikh Mutawalli Sya’rawi, Shaikh Sayyid Sabiq, dan lain-lain. Dalam kerangka pemikiran wasatiyyah Qardhawi banyak dipengaruhi oleh Syekh Rasyid Ridha dengan madzhabnya Al-Manar, ia merupakan tokoh pembaharuan yang ditandai dengan sifat moderat. Beberapa kalangan dai Al-Azhar yang mempengaruhinya adalah Shaikh Abdullah Darraz, Dr. Abdul Halim Mahmoud, dan Muhammad Youssef Morsi, Shaikh Al-Bahi Al-Khouli, dan Shaikh Mahmoud Syaltut.
3.5 KARYA-KARYA YUSUF QARDHAWI
Penguasaan atas berbagai bidang dalam displin keilmuan semata-mata karena Allah mengaruninakan pemahaman yang dalam terkait makna Al-Qur’an sekaligus kemampuan dalam menguasai ulumul Qur’an. Penguasaan dalam bidang hadith berikut mustalah{-nya sangat menonjol
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
43 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
sehingga dapat memabntu dalam penentuan hukum, hal inilah yang mengantarkannya dalam mendapat kedudukan sebagai mufti dan murshid (pembimbing keagamaan) dalam dakwah, perbaikan umat, kepemimpinan, dan kebangkitan Islam.
Semua itu tampak sangat jelas dari karya-karya ilmiah yang diterbitkan, yang mencakup berbagai macam disiplin ilmu dan semuanya ditulis dengan kedalaman materi dan analisa dengan bahasa dan sususnan yang sistematis, kaya data dan fakta serta sangat argumentatif (Annadawi 2001). Bidang-bidang spesialisasi keilmuan yang dikuasai dengan luas oleh Yusuf Qardhawi bisa diketahui dari daftar karya ilmiah beliau sebagai berikut:
Dalam Fiqh dan Ushul Fiqh, beberapa buku yang telah diterbitakan diantara lain, Al-Halal wa al-haram fi al-Islam (Fikih Halal dan Haram dalam Islam), Taysir al-Fiqh li al-Muslim al-Mu'asir (Fikih sederhana untuk Muslim kontemporer), Fiqh al-taharah (Fikih bersuci), Fiqh al-Siyam (Fikih Puasa), Fiqh al-Jihad (Fikih Jihad), Fiqh al-Aqalliyat al-Muslimah (Fikih Muslim Minoritas), Fiqh al-Ghina' wa al-musiqa fi Dhaui al-Kitab wa al-Sunnah (Fikih Lagu dan Musik menurut al-Kitab dan Assunah), Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam (Dari Fikih Tata Negara dalam Islam), Zawaj al-Mish’ar (Nikah Misyar dimana seorang istri melepaskan sebagian hak-haknya dari suami), Al-Dhawabidh al-Shar'iyyah bi Binai al-Masjid (Ketentuan-Ketentuan Syari’ah dalam Membangun Masjid), Fatawa Mu'asirah (Fatwa-fatwa Kontemporer 3 jilid), Al-Fiqh al-Islami bayna al-Asalah wa al-Tajdid (Fikih Islam antara Keaslian dan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
44 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Pembaruan), Al-Ijtihad fi al-Shari'ah al-Islamiyyah (Ijtihad dalam Syari’ah Islam), Madkhal li Dirasati al-Shari'ah al-Islamiyyah (Pengantar dalam Dirasah Islamiyah), Al-Fatwa bayna al-Indhibat wa al-Tasayyub (Fatwa antara keterikatan dan kelonggaran), Al-Ijtihad al-Mu'asir bayna al-Indhibat wa al-Infirat (Ijtihad Kontemporer antara Keterikatan dan Kelonggaran), ‘Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Shari'ah al-Islamiyyah (Faktor-faktor kelapangan dan Fleksibelitas dalam Syari’ah Islam).
Beberapa judul buku yang membahas seputar Ekonomi Islam, diantaranya Fiqh al-Zakat (Fikih Zakat 2 jilid), Musykilah al-Faqr wa Kayfa ‘alajaha al-Islam (Problematika Kefaqiran dan Bagaimana Islam Mengatasinya), Bay'u al-Murabah{ah li al-amir bi al-Shira' (Jual Beli Murabahah bagi yang diperintahkan untuk Membeli), Fawaid al-bunuk hiya al-Riba al-Muharram (Bunga Bank adalah Riba Yang Diharamkan), Daur al-Qiyam wa al-Akhlaq fi al-Iqtisad al-Islamiy (Pran Nilai dan Akhlak Dalam Perekonomian Islam), Daur al-Zakat fi ‘ilaj al-Musykilat al-Iqtisadiyyah (Peran Zakat dalam Mengatasi Problematikan Ekonomi).
Karyanya dalam Ulumul Qur’an dan Sunnah diantaranya, Al-Sabr fi al-Qur'an (Sabar dalam Al-Qur’an), Al-‘Aql wa al-‘Ilm fi al-Qur'an al-Karim (Akal dan Ilmu dalam Al-Qur’an), Kayfa Nata'amalu Ma'a al-Qur'an (bagaimana Kita Berinteraksi Dengan Al-Qur’an), Kayfa Nata'amalu Ma'a al-Sunnah al-Nabawiyyah (bagaimana Kita Berinteraksi dengan Assunnah), Tafsir Surah al-Ra'd (Tafsir surat Arra’d), al-
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
45 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Madkhal li dirasah al-Sunnah al-Nabawiyah (Pengantar Kajian Sunnah Nabi), Al-Muntaqa min al-Targhib wa al-Tarhib (Yang Terpilih dari Kitab Attarghib dan Attarhib 2 jilid), Al-Sunnah Masdaran li al-Ma'rifah wa al-Hadharah (Sunnah sebagai landasan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban), Nah{wa Mausu'ah li al-Hadith al-Nabawi (Menuju Ensiklopedi Sunnah Nabi), Qutuf Daniyah min al-kitab wa al-Sunnah (Hal-hal yang Terjangkau dari Kitab dan Sunnah).
Sedangkan dalam bidang Aqidah, diantaranya, Al-Iman wa al-H{ayah (Iman dan Kehidupan), Wujud Allah (Eksistensi Allah), Haqiqah al-Tauh{id (Hakikat Tauhid), Al-Iman bi al-Qadar (Iman dengan Qadar), Al-Shafa'ah bayna al-Aql wa al-Naql (Syafa’at diantara Akal dan Naql), Mawqif al-Islam min al-Yahud wa al-Nasara (Posisi Islam terhadap Orang Yahudi dan Nashrani).
Sedang dalam dakwah dan tarbiyah, terdapat karyanya yang berjudul Thaqafah al-Da'iyah (wawasan Pengetahuan seorang Da’i), Al-Tarbiyah al-Islamiyyah wa Madrasah H{asan al-Banna (Pendidikan Islam dan Madrasan Hasan al-Banna), Al-Ikhwan al-Muslimun Sab’una ‘Aman fi al-Da’wah wa al-tarbiyah (Ikhwanul Muslimin 70 tahun dalam Dakwah dan Tarbiyah), Al-Rasul wa al-‘Ilm (Rasulullah dan Ilmu), Al-Waqt fi H{ayah al-muslim (Waktu Dalam Kehidupan Muslim), Risalah al-Azhar Bayna al-Amsi wa al-Yawma wa al-Ghad (misi al-Azhar di antara Kemarin, Hari Ini dan Esok).
Sebagai tokoh yang juga fokus dalam membimbing kebangkitan dan gerakan Islam, judul buku yang telah
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
46 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
ditulisnya adalah Al-Sah{wah al-Islamiyyah Bayna al-Juh{ud wa al-Tatarruf (Kebangkitan Islam antara Pengingkaran dan Ekstrimitas), Al-Sah{wah al-Islamiyyah wa Humum al-Watan al-‘Arabiy wa al-Islamy (Kebangkitan Islam dan Kegelisahan negara-negara Arab Islam), Al-Sah{wah al-Islamiyyah Bayna al-Ikhtilaf al-Mashru' wa al-Tafarruq al-Madzmum (Kebangkitan Islam diantara Perbedaan yang dibenarkan dan Perpecahan yang Dicela), Al-Sah{wah al-Islamiyyah Min al-Murahaqah ila al-Rushd (Kebangkitan Islam dari Masa Permulaan hingga Kematangan), Min Ajli Sah{wah Rashidah Tujaddidu al-Din wa Tanhad bi al-Dunya (Demi Kebangkitan Islam Yang Membaharui Agama dan Membangkitkan Dunia), Aina al-Khalal (Dimana Letak Salahnya), Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah fi al-Marh{alah al-Qadimah (Prioritas Gerakan Islam di Masa Depan), Fi Fiqh al-Awlawiyyat (dalam Fikih Prioritas), Al-Islam wa al-‘Ilmaniyyah Wajhan li Wajhin (Islam dan Sekularisme, Berhadap-Hadapan), Al-Tatarruf al-‘Ilmany fi Muwajahah al-Islam (Sekular Ekstrim dalam Menghadapi Islam), Al-Thaqafah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah Bayna al-Asalah wa al-Mu'asirah (Pengetahuan Arab Islam, Diantara Keaslian dan Kontemporer), Malamih{ al-Mujtama' al-muslim alladzi Nanshuduhu (Wajah Masyarakat Islam Yang kita Rindukan), Ghairu al-Muslimin fi al-mujtama' al-Islamiy (Non Muslim di tengah-tengah Masyarakat Islam), Shari'ah al-Islam Salihah li al-tatbiq fi Kulli Zaman wa Makan (Syari’ah Islam Sesuai untuk Diterapkan di setioap Zaman dan Tempat), Al-Ummah al-Islamiyyah Haqiqah la Wahm (ummat Islam antara Kenyataan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
47 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dan Anggapan), Dhahirah al-ghuluw fi al-Takfir (Fenomena Berlebihan dalam Mengkafirkan), Al-Hulul al-mustauridah wa Kayfa janat ala Ummatina (Solusi-solusi yang dibuat dan Bagaimana Mencederai Ummat Kita), Al-H{all al-Islamiy Faridah wa Darurah (Solusi Islam Sebuah Kewajiban dan Keharusan), Bayyinat al-H{all al-Islamiy wa Shubhat al-‘ilmaniyyah wa al-mutagharribin (Bukti-bukti Solusi Islam dan Ketidakjelasan Konsep Sekularis serta Westernis), A'dau al-H{all al-Islamiy (Musuh-musuh Solusi Islam), Dars Al-Nakbah al-Thaniyah (Pelajaran dari Kekalahan kedua), Jayl al-Nasr al-Manshud (Generasi Pemenang Yang Diimpikan), Al-nas wa al-haqq (Manusia dan Kebenaran), Ummatuna Bayna Qarnayn (Ummat Kita diantara Dua Abad), Thaqafatuna Bayna al-Infitah{ wa al-Inghilaq (Ilmu Pengetahuan Kita Diantara Inklusifitas dan Eksklusifitas), Al-Muslimun wa al-‘Awlamah (Umat Islam dan Globalisasi), Khitabuna al-Diniy fi ‘Asri al-‘Awlamah (Seruan Agama Kita di Era Globalisasi), Al-Gharb wa al-Islam (Barat dan Islam).
Dan masih banyak lagi karya tulisnya dalam bidang keilmuan lainnya, seperti sastra, kajian Islam secara umum, kajian pemikiran dan biografi tokoh, dan lain-lain.
3.6 LATAR BELAKANG PEMIKIRAN WASATIYYAH YUSUF QARDHAWI
Sebagai ulama Mesir yang berdomisili di Qatar, peran dan pengalamannya yang begitu kompleks, menunjukkan kepribadiannya yang mampu menyerap setiap nilai positif dan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
48 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
keunggulan orang-orang yang ditemui dalam lingkungannya. Lembaga-lembaga Islam besar menganggapnya sebagai tokoh independen yang dapat diandalkan dalam melayani kepentingan umat. Karyanya banyak mengambil perhatian dalam perkembangan keilmuan Islam sejak awal abad ke-20. Namun corak pemikiran Qardhawi berbeda dengan kebanyakan reformis modern yang mendasarkan pemikirannya pada adaptasi Islam terhadap kebutuhan modern. Qardhawi memiliki fokus tertentu dalam upaya Islamisasi dalam kehidupan modern, sehingga berupaya menunjukkan wajah Islami pada zaman modern (Graf 2018, 184).
Qardhawi cukup menarik perhatian dunia dengan upayanya menggabungkan dua dunia yang terlihat terpecah akibat modernitas Eropa, yakni dunia sakral dan dunia sekuler. Ilmuwan Barat seperti Bettina Graff dan Jakob Skovgaard-Petersen menggambarkan Qardhawi sebagai mufti global (Al-Azami 2022). Beberapa pengagumnya menjuluki sebagai pioner dalam kebangkitan Islam (sah{wah Islamiyyah).
Qardhawi dikenal sebagai ulama moderat, meskipun sebagian kalangan dari Barat yang ultra-konservatif cenderung menganggap pemikirannya ekstrim radikal. Beberapa kelompok dari media Amerika dan Eropa menyebut Qardhawi dan mengenalnya dengan sebutan muslim garis keras (Graf 2022). Dimana, setiap pemikirannya cenderung berputar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun, beberapa fatwa yang berani dan progresif serta menentang dari
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
49 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
pandangan konservatif, membuat para fundamentalis memandangnya sebagai ulama yang terlalu liberal. Kritik utama yang dilontarkan atas pemikiran Qardhawi seputar talfiq (mencampurkan mazhab), taysir (memberi kemudahan), pengunaan hadith da’if, keberpihakan pada non-Muslim, dan permasalahan lainnnya (Sudarto 2021, 19). Dalam anggapan tersebut, muncul konotasi yang bersifat mengejek bukunya yang berjudul “Halal dan Haram dalam Islam”, dengan sebutan “Halal...dan masih banyak lagi yang dihalalkan..” disebabkan dari fatwa-fatwanya yang terlalu longgar dan mengizinkan segala sesuatu (Hassan 2022). Tuduhan tersebut dapat ditelaah dengan beberapa penyebab, diantaranya anggapan para ulama konservatif atas manipulasi Qardhawi terhadap selendang ilmu dengan mengubah bentuk shari’ah dengan istilah tajdid (pembaharuan), mempermudah sarana kerusakan dengan Fiqh at-Taysir, menganggap tidak penting sederet Sunnah Nabi dengan kedok Fiqh al-Awlawiyyat (Fikih Prioritas), serta menampakkan loyalitas terhadap non-muslim dengan alasan memperindah corak Islam (Al-Fauzan 1976).
Banyak yang menyebut abad modern ini adalah era globalisasi. Dalam era ini pada cendekiawan, termasuk kalangan ulama Muslim dituntut untuk berdialog tentang keterbukaan dan ketertutupan. Ciri globalisasi adalah hilangnya batas-batas, dekatnya jarak, dan hilangnya perbedaan yang ada dari segala sisi, baik dari ekonomi hingga budaya dan peradaban (Yusuf Qardhawi 2000). Namun kepeloporan Qardhawi dalam pemikiran Islam dan segala
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
50 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
bidangnya terjaga dalam kerangkan wasatiyyah (madhab pertengahan).
Dalam sejarah pemikiran Islam, Qardhawi dikenal sebagai penerus dari madrasah al-islah wa at-tajdid (penggagas reformasi dan pembaharuan) yang dipelopori oleh Muhammad Abduh, Rashid Ridha, Hasan al-Banna, Mamoud Shaltout, Abdul Halim Mahmud, dan ulama lainnya. Namun, Qardhawi mempopulerkan suatu gerakan dalam meneruskan kelanjutan proyek ini, gerakan yang dibalut dengan misi kebangkitan Islam inilah disebut sah{wah al-Islamiyyah yang memiliki tiga pilar utama, diantaranya taysir (kemudahan), tajdid (pembaharuan) dan wasatiyyah (pertengahan).
Metodologi wasat, yakni menyatukan antara nas yang parsial dan maqasid shari’ah, dengan menelaah turath yang memiliki kekayaan dari satu sisi dan melihat problematika kekinian dari sisi lainnya. Demikian pula mempertahankan hal-hal yang original dan mengambil sisi-sisi kebaruan yang mendatangkan manfaat. Bersikap tegas dan memiliki keteguhan dalam memegang tujuan dan aspek kulliyyat namun dapat bersikap lunak dalam melihat perangkat yang parsial. Begitupula dapat tegas dalam memegang usul dari syariat namun mempermudah dalam bidang furu’. Serta tidak fanatik dalam satu aliran madhab sehingga terperangkap dalam suatu pemikiran tertentu (Yusuf Qardhawi 2008b, 20).
Ada beberapa hal yang menyebabakan Qardhawi memilih prinsip wasatiyyah ini, diantaranya (Yusuf Qardhawi 2008a):
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
51 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
a. Karena umat Islam disebut di dalam al-Qur'an sebagai “ummatan wasatan” (al-Baqarah : 143), yang ternyata nomor ayat ini juga tepat di tengah-tengah surat al-Baqarah yang jumlah ayatnya mencapai 286 ayat.
b. Karena wasatiyyah adalah ciri asli bagi peradaban Islam sepanjang zaman.
c. Karena alam semesta semuanya diatur diatas wasatiyyah dan keseimbangan.
d. Karena tabiat manusia berdiri ditengah-tengah antara dua sisi materi dan rohani, antara individual dan sosial.
e. Karena posisi tengah menggambarkan posisi yang paling aman dan terjaga dibanding posisi yang lebih ujung.
f. Karena wasatiyyah adalah ciri khas menonjol dalam semua ajaran Islam, dalam aqidah dan pemahaman, ibadah dan penghambaan, akhlak dan adab, perundang-undangan dan peraturan.
g. Wasatiyyah akan eksis lebih lama, dan lebih abadi, memberi manfaat lebih banyak dibanding yang berlebihan dan meremehkan.
h. Wasatiyyah adalah lingkungan keberhasilan bagi dakwah Islam, bahkan bagi umat Islam secara keseluruhan.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
52 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
i. Karena berpaling dari wasatiyyah berarti kehancuran dan kesia-siaan baik dalam urusan dunia maupun agama.
3.7 KONSEP WASATIYYAH AL-ISLAM YUSUF QARDHAWI
3.7.1 Wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi
Wasatiyyat al-Islam menurut Qardhawi adalah sebuah metodologi yang diperuntukkan bagi umat yang moderat. Ibarat sebuah jalan yang lurus (Sirat al-Mustaqim) yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia, membumikan keseimbangan dan menciptakan keselarasan meliputi setiap minhaj dalam aqidah, ibadah, akhlak dan syariat. Berangkat dari keyakinan terhadap prinsip wasatiyyah adalah satu-satunya cara yang dapat mengantarkan pada kesuksesan dakwah Islam dan kebangkitan umat Islam secara keseluruhan, Qardhawi memfokuskan diri meniti jalan dengan prinsip wasatiyyat al-Islam dalam perjalanan hidup dan perjuangannya.
Menjawab pertanyaan bagaimanakah wasatiyyah didefinisikan, maka Qardhawi sendiri dalam buku terbarunya “Kalimat fi al-Wasatiyyah wa Ma'alimuha” telah mendefinisikan sebagai berikut:
أنها التوسط أو التعادل بين طرفين متقابلين أو متضادين، بحيث لا ينفرد
أحدهما بالتأثير ويطرد الطرف المقابل، ولا يأخذ أحد الطرفين أكثر من
حقه ويطغى على مقابله ويحيف عليه .
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
53 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Pertengahan atau keseimbangan antara dua ujung yang berhadap-hadapan atau bertentangan, dengan ketentuan salah satu dari kedua ujung tersebut tidak mendominasi dan mengalahkan yang lain, tidak pula salah satu dari dua ujung tadi mengambil haknya lebih banyak dari lainnya dan melampaui batas atas lainnya.(Yusuf Qardhawi 2011, 13)
Contoh dari dua ujung yang berhadap-hadapan atau yang bertentangan adalah: ketuhanan dan kemanusiaan, spiritualitas dan material, akhirat dan duniawi, wahyu dan akal, masa lampau dan masa depan, individual dan sosial, realitas dan idealitas, ketetapan dan perubahan, dan lain sebagainya, yang dalam semua itu harus ada keseimbangan, sehingga masing-masing memberikan porsi yang cukup bagi lainnya, serta memberikan haknya dengan adil atau dengan timbangan yang adil (al-qistas al-mustaqim), tanpa melebihi atau mengurangi, tidak pula melampaui batas atau meremehkan, juga tidak merugikan.
Bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan wasatiyyah oleh Qardhawi adalah titik pusat yang menghimpun (al-markaz al-jami'), beliau menyatakan sebagai musuh kebekuan, taklid dan fanatisme tetapi dalam waktu yang sama juga menentang sikap meremahkan, lepas tanpa ikatan dan kelalaian.
Berpaling dari metodologi wasatiyyah sama halnya dengan bunuh diri dan menyia-nyiakan kehidupan, baik dunia maupun akhirat dalam waktu bersamaan. Keberpalingan ini menandakan akan kecenderungan pada sikap berlebihan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
54 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dalam agama atau bahkan sebaliknya (meremehkan prinsip beragama).
3.7.2 Karakteristik Wasatiyyah
Ungkapan lain dari wasatiyyah adalah tawazun yang artinya seimbang. Maksudnya adalah keseimbangan antara dua arah yang saling bertentangan dan berhadapan, dimana satu diantara dua jalan tersebut tidak dapat berpengaruh dengan sendirinya dan mengabaikan yang lain. Begitu pula, satu diantara keduanya pun tidak dapat mengambil hak yang berlebih dan melampaui. Qardhawi beranggapan bahwa terjadinya keseimbangan tak lain karena kesempurnaan pencipta. Manusia dengan segala keterbatasannya sangat jauh dari kemampuan untuk mewujudkan keseimbangan yang dimaksud.(Yusuf Qardhawi 1995, 141)
Melalui proses reduksi data ditemukan enam nilai moderasi beragama dalam Kitab “Islam Jalan Tengah” Karya Yusuf Qardhawi, yaitu nilai total dalam memahami ajaran Islam, nilai relevansi yaitu mengamalkan agama sesuai pokok ajaran Islam, nilai hikmah dalam menyikapi berbagai hal, nilai kecukupan dalam mengamalkan agama dengan maksud tidak berlebihan namun juga tidak dikurangi, nilai eksplorasi sejarah atau perluasan kajian sejarah Islam untuk menafsirkan lebih dalam ajaran agama Islam, serta nilai Islamisasi, yaitu pemaknaan ajaran agama Islam yang tidak hanya hubungan terbaiknya tetapi juga empiris dengan menemukan ilmu-ilmu lain.(Fikri dan Susilo 2023, 243)
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
55 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Wasatiyyah memiliki keragaman makna yang menjadi spesifikasi minhaj dalam ajaran Islam(Yusuf Qardhawi 1995, 145):
a. Wasatiyyah bermakna adil
Ibnu Katsir menafsirakan kata wasata dengan kata al-‘adlu (keadilan) dalam ayat 143 dari surat Al-Baqarah yang berbunyi:(Katsir 2005a, 291)
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِ تَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ
شَهِيْدًا
Adil dalam hakikatnya adalah pertengahan antara dua sisi yang berlawanan, atau ketidak cenderungan antara satu sisi dengan sisi lainnya. Dapat dikatakan al-‘adlu, at-tawassut, dan al-muwazanah mempunyai makna yang sama.(Yusuf Qardhawi 1995, 146)
Demikian pula pada surat Al-Qalam ayat 28 dalam ayat yaang berbunyi )قَالَ اَوْسَطُهُمْ اَلَمْ اَقُلْ لَّكُمْ لَوْلَا تُسَب حُوْنَ( , para ahli tafsir memaknai lafadz awsatuhum sebagai a’daluhum (yang teradil diantara mereka). Imam a-Razi menegaskan dengan ucapannya: “Sesungguhnya yang paling adil untuk kelangsungan sesuatu adalah yang berada di tengah. Karena hukum ketetapannya bersifat menyeluruh (menyentuh segala aspek) dan seimbang.”
b. Wasatiyyah bermakna jalan lurus
Wasatiyyah dapat dimaknai sebagai sebuah minhaj yang
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
56 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
lurus, jauh dari kecenderungan dan penyimpangan. Jalan lurus terletak diantara jalan yang berkelok, sebagai konsekuensinya umat Islam dituntut menjadi penengah diantara jalan-jalan yang tidak lurus (sesat). Dari sinilah Islam mengajarkan pada setiap Muslim untuk memohon petunjuk menuju sirat al-mustaqim (jalan yang lurus).
c. Wasatiyyah adalah bukti kebaikan
Salah satu kata hikmah dalam ungkapan bahasa Arab yang berbunyi ‘khairu al-umuri awsatuha’ (sebaik-baik perkara adalah pertengahannya), maka ummatan wasatan dapat diartikan sebagai umat terbaik.
d. Wasatiyyah mencerminkan keamanan
Titik tengah seringkali digambarkan sebagai posisi aman. Pasukan yang berada di tengah akan merasa terlindungi dengan barisan depan, belakang, sisi kanan, dan kirinya.
e. Wasatiyyah adalah bukti kekuatan
Wasatiyyah juga dapat dikatakan sebagai bukti kekuatan, dimana masa muda adalah pertengahan diantara bayi/ anak kecil dan masa tua, dimana masa muda seseorang memiliki kekuatan yang dapat diandalkan dibanding kedua masa sebelum dan sesudahnya. Sebagaimana terik matahari pada pertengahan siang lebih kuat dibanding sebelum dan sesudahnya (Yusuf Qardhawi 2011).
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
57 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
f. Wasatiyyah adalah pusat kesatuan
Dengan keamanan dan kekuatan yang terkumpul pada titik tengah membuat wasatiyyah digambarkan sebagai asas kesatuan dari umat.
Islam memiliki prinsip wasatiyyah dalam ajarannya, meliputi aqidah (keyakinan), ibadah (penghambaan), akhlak dan perilaku, begitu pula mu'amalah (pergaulan) dan tasyri' (penerapan hukum). Pokok-pokok dalam wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi secara garis besar memiliki karakteristik tersendiri, diantaranya selalu berpegang teguh dengan ruh tawassut (moderasi) dan lurus diantara berlebihan dan abai, antara keinginan berlepas dari ikatan hukum yang ditetapkan dengan dalih menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan keinginan yang mengangungkan segala sesuatu yang didapatkan dari pendapat nenek moyangnya terdahulu seolah menganggapnya suci. Kesemuanya ini disebut sirat mustaqim.
Inilah prinsip keutamaan Islam dari para pemeluk agama lainnya, aliran filsafat dan pemikiran lainnya yang termasuk kategori al-maghdub 'alayhim (yang dimurkai) karena meremehkan, mengabaikan ataupun dhallin (yang sesat) karena berlebih-lebihan. Wasatiyyah adalah salah satu dari karakter utama Islam, salah satu rambu prinsip yang Allah melebihkan dan mengutamakan umat Islam dari umat lainnya (al-Baqarah: 143), maka Umat Islam adalah umat keadilan, lurus, pertengahan, menjadi saksi di dunia maupn di akhirat dari setiap penyimpangan, baik ke kanan maupun ke kiri dari garis lurus. Dan wasatiyyah Islam dalam akidah, seperti gambaran
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
58 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
wasatiyyah Islam diantara agama-agama lainnya, dan wasatiyyah umat Islam diantara umat lainnya dan wasatiyyah ahli sunnah dalam perspektif sebagai firqah najiyah (golongan yang selamat) diantara golongan-gologan lain yang bercerai-berai dalam berbagai macam jalan karena berlebih-lebihan ataupun karena meremahkan (Karim 2007).
Wasatiyyah secara lazim pun disebut sebagai moderasi, namun dalam implementasinya tidak semudah yang dipermaklumkan. Dalam penegakan prinsip ini sangatlah dibutuhkan pengetahuan yang cukup dan pemahaman yang lurus karena kesalahpahaman menganainya mengakibatkan pada kemungkinan akan terjerumusnya seseorang pada faham yang ekstrem (Ismail dan Mujani 2023, 239).
Kata wasatiyyah atau al-wastu memiliki lawan kata yang menunjukkan makna kontradiktif yang perlu dipahami agar makna yang dimaksud semakin jelas dan menunjukkan maksud, yaitu:
1. Al-Ghuluww (Ekstremisme)
Al-Ghuluww memiliki arti melebihi batas, dalam terminologi syariat dapat dimaknai dengan bersikap ekstrem pada suatu masalah dengan melampaui batas yang telah ditetapkan dalam syari’at.(Afroni 2016, 72) Dalam praktiknya sikap berlebihan yang banyak terjadi adalah berlebih-lebihan dalam keyakinan seperti halnya besarnya keyakinan dalam trinitas kaum Nasrani hingga mencapai tingkat mentahbiskan Nabi Isa as. Sebagai Tuhan, kaum Syi’ah Rafidhah yang
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
59 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
meninggikan Sayyidina Ali secara berlebih hingga menganggap rendah khalifah-khalifah sebelumnya, serta berlebih-lebihan dalam mengganggap kebenaran diri sehingga sangat mudah mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham. Adapula bentuk ghuluww dalam hal praktik/ menjalankan amalan agama adalah berlebihan dalam hal ibadah seperti shalat malam tanpa tidur dan puasa tanpa berbuka, menjadikan amalan sunnah menjadi wajib dan lain sebagainya.(Afroni 2016, 73)
Kata ghuluww dalam Al-Qur’an disebutkan dua kali dengan bentuk yang sama. Terdapat dalam Surat An-Nisa’ ayat 171 dan Al-Ma’idah ayat 77. Makna yang terkandung dalam surat An-Nisa’ dalam ayat:
يَٰٰٓاهَْلَ الْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى ه اللِّٰ اِلَّا الْحَقَّ
"Janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian".5
Maksudnya adalah teguran kepada ahli kitab yang melampaui batas dalam menempatkan Nabi Isa as. dari kedudukannya sebagai Nabi kepada kedudukan Tuhan.(Katsir 2005b, 466)
Al-Ghuluww adalah kata berbahasa Arab yang dapat diterjemahkan dalam istilah saat ini dengan ekstremisme. Yusuf Qardhawi memberikan makna terhadap ideologi ini sebagai suatu yang jauh dari titik tengah, terpencil, dan terasing dari ajaran agama yang sebenarnya. Maksud dari jauh
5 Al-Nisa' : 171
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
60 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dari titik tengah adalah jauh dari keadilan, dan tidak memiliki keseimbangan antara akal dan wahyu demikian pula terasing dari kontekstualitas dan perilaku kemanusiaan. Perilaku ini seringkali terdorong dari hawa nafsu belaka.(Ismail dan Mujani 2023, 237)
Al-ghuluww (berlebih-lebihan) yang dimaksud adalah:
a. Tidak mengakui pendapat selain dari pendapat yang diyakininya
Perilaku yang mencerminkan sifat ini disebut dengan fanatik (ta’assub). Kefanatikannya terhadap satu pendapat membawa seseorang untuk tidak membuka ruang diskusi dengan kelompok yang memiliki perbedaan dalam bermazhab. Berkehendak atas kebenaran hanya dari satu pintu, yakni pendapat yang diikutinya dan menyatakan kesesatan dan kebodohan kepada siapapun yang tidak sepaham.Yusuf Qardhawi, al-Sah{wah al-Islamiyyah min al-Murahaqah ila al-Rusyd, 3 ed. (Kairo: Dar Ash-Shuruq, 2008), 250.
b. Menghendaki kesukaran terhadap banyak orang
Sikap ini merupakan cerminan atas abainya seseorang dalam memandang keberagaman manusia. Kehendak ini menafikan adanya manusia yang kuat dan lemah sehingga menyelaraskan kemampuan satu dan lainnya. Rasulullah SAW menyikapi keberagaman dengan tidak menuntut satu dengan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
61 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
yang lain atas amalan-amalan tertentu kecuali yang amalan fardu (tidak kurang dan tidak lebih dari itu) dan menjauhi dosa-dosa besar. Demikian pula menjadikan hari-hari yang memiliki keutamaan sebagai sarana menghapus dosa-dosa kecil.(Yusuf Qardhawi 2008a, 251)
c. Bersikap ketat tanpa menyesuaikan keadaan
Islam adalah agama yang penuh dengan kemudahan. Bersikap ketat pada kondisi yang tidak sesuai akan menimbulkan wajah Islam yang kaku. Terlebih pada lingkungan mayoritas non-Muslim dan lingkungan yang baru mengenal Islam, maka hendaknya mengenalkan kemudahan-kemudahan yang ada terutama dalam masalah furu’iyyah.(Yusuf Qardhawi 2008a, 251)
d. Bersikap keras dan kasar
Menyebarkan ujaran kebencian dalam proses dakwah, bersikap kasar dalam berucap dan bersosialisasi. Sikap ini tidak sesuai dengan prinsip wasatiyyah sebagaimana Allah berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 159 yang berbunyi:
فَبِمَا رَحْمَةٍ منَ ه اللِّٰ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ه اللِّٰ اِنَّ ه اللَّٰ يُحِبُّ
الْمُتَوَ ك لِيْنَ
“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
62 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”
e. Senantiasa berprasangka buruk kepada orang lain
Munculnya prasangka buruk adalah salah satu penyebab dari kesombongan dan anggapan rendah terhadap orang lain. Inilahn yang merupakan makiat pertama yang terjadi dimana iblis menyombongkan dirinya dan menganggap rendah Nabi Adam as (Yusuf Qardhawi 2008a, 251).
f. Senang menjatuhkan tuduhan kafir terhadap orang lain
Sikap berlebih-lebihan yang membawa seseorang gemar menjatuhkan tuduhan kafir terhadap orang lain terjadi atas pandangan dirinya sebagai muslim sejati, menganggap selainnya yang belum sepenuhnya dapat memenuhi kewajiban agama sebagai orang kafir. Prinsip inilah yang diterapkan kaum Khawarij pada zaman dahulu dan menjadi bibit pemikrian yang diteruskan Jama’ah at-Takfir pada era ini (Yusuf Qardhawi 2008a, 251–252).
Beberapa persamaan dari kata al-ghuluww antara lain ta’annut (bersikap keras), ifrat (mempersempit), tashaddud (mempersulit), atau takalluf (memaksakan diri) (Anwar 2021, 25).
Selain dari istilah berlebihan dengan kecondongan pada sesuatu yang menyulitkan, istilah al-tafrit juga tergolong dalam sifat yang melampaui batas. Namun jika poin pertama
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
63 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dalam al-ghuluww atau al-ifrat adalah melampaui batas dalam menambah atau memperketat, al-tafrit adalah sikap melampaui atas dalam menyepelakan atau melalaikan. Mu’jam Mustalah{at al-Shar’iyyah menyebutkan definisi dari keduanya yakni:
الإفراط هو تجاوزُ الْحَدِ فوق الزيادة، والكمال، وضدُّه التفريط، وهو تجاوز
الحد إلى النقصان والتقصير
Al-Ifrat adalah sikap melampaui batas dalam sikap menambah akan ukuran kesempurnaan, sedang al-tafrit adalah sikap melampaui batas dalam mengurangi ukuran dan cenderung meremehkan.(Al-Jamharah n.d.) Kata lain yang mempunyai arti sama adalah al-taqsir (التقصير ) dan al-ihmal (الإهمال ) yang mempunyai arti sama dengan tafrit, yaitu meremehkan dan melalaikan.
Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa kata al-wastu dan al-wasatu mengandung makna: pertengahan, keadilan, kebaikan dan keutamaan, sedang lawannya adalah ghuluww, al-tashaddud, al-ta’annut, al-tatarruf, ifrat, tafrit, taqsir dan ih{mal yang berarti melampaui batas, berperilaku keras dan ketat, berlebih-lebihan, ekstrimitas, melampaui ukuran, meremehkan, meninggalkan kewajiban yang diperintahkan dan melalaikannya.
Diantara karakteristik wasatiyyat al-Islam sebagaimana diuraikan Yusuf Qardhawi dalam kitabnya, “Kebangkitan Gerakan Kebangkitan Islam dari Masa Transisi menuju Kematangan” disebutkan bahwa inti dari Sirat al-Mustaqim
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
64 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
(jalan yang lurus) ialah jalan orang-orang saleh, jalan yang berada diantara dua kutub yang bertentangan (Yusuf Qardhawi 2008b). Ali bin Abi Thalib berkata “Hendaklah kalian berada di tengah-tengah, yang bisa diikuti oleh yang akan datang selanjutnya dan kembali kepadanya orang-orang yang berlebih-lebihan.” Sedangkan inti dari wasatiyyah itu sendiri adalah:
a. Berasaskan atas kemudahan dan kabar gembira
Fatwa dan pendapat yang berasas akan kemudahan, mudah dalam urusan furu’ namun tegas dan teguh dalam urusan pokok (usul), dan metode berdakwah yang senantiasa disampaikan dengan kabar gembira. Cara ini adalah cara yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW ketika tidak sependapat dengan orang yang berhadas besar ketika akan bersuci dengan mandi besar sementara kepalanya terluka dan akan menyebabkan pada kematian jika terguyur air. Manusia pada saat ini lebih membutuhkan kepada kemudahan dengan lemahnya keimanan, bertebarnya kemaksiatan dan jauhnya mereka dari agama (Yusuf Qardhawi 2008a, 310).
Demikian pula jika didapati pada perkara yang lebih luas, meliputi masalah sosial, ekonomi, politik, hubungan antar negara hendaknya ditempuh melalui jalan kemudahan, bukan dengan kesukaran dan kekerasan. Tabiat kemudahan adalah tabiat yang diajarkan oleh agama Islam sendiri, tabiat yang meliputi keringanan, agama yang penuh rahmat, dan memiliki sikap toleransi, seperti yang ditegasakan dalam
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
65 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
beberapa surah Al-Qur’an diantaranya:
يَٰٰٓايَُّهَا الَّذِيْنَ اَٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلَٰى اَلْحُرُّ بِالْحُ ر وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ
وَالْاُنْثَٰى بِالْاُنْثَٰى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَات بَاعٌ بِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ
بِاِحْسَانٍ ذَٰلِكَ تَخْفِيْفٌ منْ رَّب كُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَٰى بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.”
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٰٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاَٰنُ هُدًى لِ لنَّاسِ وَبَ يِنَٰتٍ منَ الْهُدَٰى وَالْفُرْقَانِ ف مَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ . وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلَٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ منْ اَيَّامٍ اُخَرَ
. يُرِيْدُ ه اللُّٰ بِكُ مُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ . وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَب رُوا ه اللَّٰ عَلَٰى مَا
هَدَٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
66 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.” (Al-Baqarah [2]:185)
يُرِيْدُ ه اللُّٰ اَنْ يُّخَ ففَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia diciptakan (dalam keadaan) lemah. (An-Nisā' [4]:28)”
يَٰٰٓايَُّهَا ا لذِيْنَ اَٰمَ نُوْٰٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا وَاِنْ كُنْتُمْ
مَّرْضَٰٰٓى اَوْ عَلَٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ منْكُمْ منَ الْغَإِۤىطِ اَوْ لَٰمَسْتُمُ الن سَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا
مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَ يِبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ منْهُ مَا يُرِيْدُ ه اللُّٰ لِيَجْعَلَ
عَلَيْكُمْ منْ حَرَج وَّلَٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَ ه رَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَه عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.” (Al-Mā'idah [5]:6)
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
67 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Sebagian besar hadith, Rasulullah SAW menganjurkan akan pentingnya memperkenalkan Islam lebih dekat, hal ini tidak ditempuh dengan jalan yang menimbulkan ketakutan, karena timbulnya ketakutan akan berdampak kepada semakin jauhnya seseorang dari Islam itu sendiri. Dalam kemaslahatan yang bersifat pribadi setiap Muslim dipersilahkan bersikap keras pada diri sendiri, tetapi kepada orang lain, hendaknya lebih fleksibel dan luwes.
b. Perpaduan antara keaslian (original) dan pembaharuan
Qardhawi menyatakan dalam kitabnya Fiqh al-Wastiyyah wa al-Tajdid, bahwa tidak ditemukan kontradiksi antara keaslian dalam ajaran Islam dan produk pembaharuan. Baginya produk pembaharuan adalah sesuatu yang menjadikan lebih baik dari sebelumnya tanpa menanggalkan hukum lama, atau bahkan meninggalkan penafsiran ahli tafsir atau bahkan mengabaikan kaidah ushul fikih hingga meragukan otentitas wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah). Nilai ajaran Islam pun memiliki fleksibilitas tersendiri dan telah terbukti selama belasan abad dapat beradaptasi dengan peradaban. Adanya kebutuhan akan pembaharuan yang disebabkan oleh faktor tuntutan zaman merupakan keniscayaan, namun tetap harus memperhatikan pada hal yang bersifat tetap (thawabit) dan dimungkinkan untuk berubah (mutaghayyirat) (Azizah dan Elhady 2024, 115).
Islam adalah masa lalu, sekarang dan masa yang akan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
68 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
datang. Pemahaman bahwa Rasulullah adalah salaf, Qur’an adalah turath dan Islam adalah masa lalu merupakan sebuah pemahaman yang salah. Dengannya Rasulullah memberi kabar gembira bahwa dalam setiap seratus tahun akan dilahirkan para pembaharu dalam urusan agama, cara pemahamannya digunakan untuk menjawab tantangan zaman (Yusuf Qardhawi 2008b). Pembaharuan (tajdid) dalam urusan agama dimaknai sebagai pendalaman makna secara totalitas dan menyeluruh, Qardhawi mengungkapkan dalam bahasanya yakni ‘al-Intiqal min {h{alah ila h{alah ukhra afdal wa arqa min h{alah al-sabiqah’.(Azizah dan Elhady 2024, 114)
Bagi Qardhawi salafiyyah dan pembaharuan, orisinilitas dan kekinian tidak bertentangan, justru berkaitan sangat erat. Ruh dari salafiyyah adalah pembaharuan. Karena itu kita mendapatkan pemahaman para sahabat terhadap ajaran Islam sangat luas, luwes dan toleran serta penyesuaian antara juz’iyyat (cabang-cabang permasalahan) dengan maqasid kulliyyat (tujuan pokok dan umum) (Yusuf Qardhawi 2008b). Qardhawi menegaskan bahwa pembaharuan tidak menafikan salafiyyah, karena arti pembaharuan adalah kembali kepada yang asli, yang murni bebas dari bid’ah, penyimpangan, tambahan-tambahan dan pencampuradukan. Salafi pastilah pembaharu dan pembaharu agama yang benar pasti akan membawa agama kepada aslinya. Yang penting dari ajaran wasatiyyah adalah agar kita tidak bertaklid dan menutup diri, jumud dan mendhalimi diri sendiri, tetapi juga tidak bebas lepas dan sembrono (Yusuf Qardhawi 2008a, 260–262).
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
69 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Qardhawi menyeru kepada penerapan fikih baru dan kajian terhadap kelangsungan gerakan Islam sekaligus keberhasilan akan kebangkitan Islam (sah{wah al-Islamiyyah). Uraian pembahasan akan topik ini dituliskan dalam bukunya yang berjudul Awlawiyyat al-h{arakah al-Islamiyyah’ (hal-hal yang diprioritaskan dalam gerakan Islam). Pembahasan yang tercantum dalam fikih ini sesuai dengan apa yang disebut dalam Al-Qur’an, mengantarkan pada kedalaman pemahaman terhadap kompleksitas permasalahan, bukan pada sekedar penjelasan-penjelasan fikih praktis yang mencantumkan dalil-dalil secara terperinci.
Mengambil ajaran terbaik dari ajaran Al-Qur’an, memprioritaskan akan kemurnian dan menimbang akan kebutuhan pembaharuan menjadi perpaduan yang dapat menghasilkan nilai yang jauh berkualitas, seperti lebah yang memakan banyak sari bunga dan akhirnya mempunyai madu yang berkualitas serta mengandung penyembuhan yang bermanfaat.
c. Penyesuaian antara salafiyyah dan sufisme
Arti salafiyyah adalah kembali kepada pokok, inti dan sumber, yakni al-Qur’an dan sunnah. Dan pembaharuan adalah mengikuti zaman dan perkembangannya. Salafiyyah tidak berarti kembali pada masa lalu, tetapi mempunyai cakupan yang lebih luas. Salaf memang generasi awal Islam (sahabat, tabi'in dan tabi’u al-tabi’in) sedang sesudah mereka adalah khalaf. Generasi salaf memang sebaik baik generasi,
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
70 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
namun salafiyyah tidak identik menjiplak masa lalu untuk diterapkan pada masa kini, tetapi mengikuti metode dan ruh dalam pemahaman, perilaku serta etika berhubungan dengan agama dan dunia (Yusuf Qardhawi 2008a, 259).
Dengan mengambil ajaran terbaik dari keduanya dipadukan agar muncul intisari baik dan bermanfaat, seperti lebah yang memakan banyak sari bunga dan akhirnya mempunyai madu yang berkualitas serta mengandung penyembuhan yang bermanfaat. Kita membutuhkan salafiyyah yang sufi dan sufi yang salaf. Kekurangan sebagian salafiyyah adalah pancaran ruhani yang bisa menerangi kekeringan hati, menggugah perasaan dan menumbuhkan ruh keimanan dalam diri masing-masing seperti khawf, haya', cinta, lutf, kasih sayang dan lain-lainnya. Dalam hal ini ahlinya adalah orang sufi, dan Ibnu Taimiyah serta Ibnu Qayyim mempunyai beberapa pembahasan tentang ini. Namun kadang orang sufi terlalu longgar, tidak disiplin sehingga menumbuhkan berbagai bid’ah dalam ibadah dan kemusyrikan dalam akidah, karena itu perlu diluruskan dengan sumber-sember yang murni. Maka Qardhawi memandang perlunya orang-orang tasawuf untuk disalafiahkan, sebagaimana orang-orang salaf perlu disufikan (Yusuf Qardhawi 2008a, 261).
d. Sikap moderat antara zahiriyyah dan muawwilah (penakwil)
Moderat dalam memandang nas (teks) tidak terlalu kaku dan hanya memperhatikan sisi lahiriyah dalam lafadh namun juga tidak terlalu longgar menakwili tanpa dalil. Takwil
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
71 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
dan penafsiran dibutuhkan selama sesuai dengan kaidah-kaidahnya dan tidak menyimpang. Sedang takwil jauh dan menyimpang tidak tepat, baginya penakwil yang terlalu jauh dan menyimpang sama saja dengan membawa agama baru dan tidak membawa Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah, takwil seperti ini wajib ditolak (Yusuf Qardhawi 2008a, 266–68).
e. Keseimbangan antara yang thawabit dan mutaghayyirat
Perkara-perkara yang tetap, stabil dan tidak boleh berubah disebut thawabit, sedang yang memiliki kemungkinan berubah adalah mutaghayyirat, keduanya harus disesuaikan secara seimbang, bukan dicampurbaurkan sehingga yang menganggap yang thawabit menjadi mutaghayyirat atau sebaliknya, demikian pula menganggap hukum secara kaku dan ditetapkan keseluruhannya menjadi thawabit atau terlalu longgar dengan menganggap seluruhnya mutaghayyirat.
Klasifikasi Qardhawi dalam hal yang termasuk thawabit adalah hukum-hukum akidah, ibadah yang diwajibkan, akhlak, dan hukum-hukum qat'i yang berkaitan dengan individu, keluarga, maupun masyarakat. Selain itu adalah masalah-masalah mutaghayyirat terutama yang berkaitan dengan problema kehidupan sehari-hari seperti dalam bidang pertanian, kedokteran, seni, kemasyarakatan, kehidupan keluarga dan lain-lain.
Qardhawi menjelaskan lebih luas tentang medan yang harus tetap dan boleh berubah. Yang harus tetap adalah
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
72 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
tujuan dan sasaran, dan yang fleksibel adalah dalam sarana dan cara, yang tetap adalah dasar-dasar yang pokok, sedang yang fleksibel adalah yang cabang dan bagian, yang tetap adalah nilai-nilai agama dan akhlak, dan yang fleksibel adalah dalam urusan duniawi dan praktis.
Selain itu, dalam syariah Islam terdapat wilayah "kosong" atau "yang dimaafkan", yang memang ditinggalkan untuk kita, bukan karena lupa tidak disentuh, agar menjadi wilayah ijtihad para ulama.
مَا أَحَلَّ اللهُ في كِتَابِهِ فَهُوَ حُلالٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ عَنهُ فَهُوَ عَفوٌ
فَاقبَلُوا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ؛ فَإِنَّ اللهَ لم يَكُنْ لِيَنسَى شَيئًا. وتلا:  وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا  "
“Apa-apa yang dihalalkan Allah maka hukumnya halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah, maka hukumnya haram, dan apa-apa yang didiamkan maka itu adalah yang dimaafkan, maka terimalah pemaafan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa sama sekali. Kemudian Nabi membaca "Dan tidaklah Tuhanmu itu lupa".
وقول النبي: "إن الله حد حدوداً فلا تعتدوها، وفرض فرائض فلا تضيعوها،
وحرم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة بكم؛ من غير نسيان فلا
تبحثوا عنها" .
"Sesungguhnya Allah telah membuat batasan-batasan, maka janganlah kalian melampauinya, dan menetapkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kalian melalaikannya, dan mengharamkan banyak hal, maka janganlah engkau melanggarnya, dan mendiamkan banyak hal sebagai wujud
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
73 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
rahmah atas kalian, bukan karena lupa, maka jangan kalian mencari-carinya".
Wilayah lainnya adalah mutashabihat (yang terletak di antara yang halal dan yang haram). Agama menyarankan kita untuk menjauhi wilayah ini agar tidak terperosok dalam hal-hal yang diharamkan. Namun wilayah ini juga menjadi medan ijtihad para ulama yang cukup luas.
Hal-hal yang pokok dan tidak boleh berubah harus terus terjaga supaya tidak dilanggar, sedang yang fleksibel hendaknya selalu diperbaharui agar sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan. Nabi tidak pernah mau mundur atau ditawar kalau berkaitan dan hal-hal prinsip dalam akidah dan ibadah, tetapi beliau fleksibel dalam masalah-masalah teknis dan parsial.
f. Melihat dan memperhatikan realita
Fikih realita (fiqh-al Waqi’) dimaksudkan menjadikan ruang publik sebagai pertimbangan hukum dalam mencapai kemaslahatannya (Rasito dan Mahendra 2019). Hal ini perlu dikuasai sekaligus menjadi bekal wawasan para tokoh agama Islam untuk memberikan solusi berbagai permasalahan umat dengan tepat dan tidak terbelenggu oleh masa lalu sehingga Islam dapat menjawab permasalahan dahulu, sekarang dan zaman yang akan datang (Yusuf Qardhawi 2008a).
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
74 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
g. Toleransi dan hidup berdampingan sesama
Di antara ajaran aliran ini adalah menolak kekerasan dan mengajak hidup berdampingan serta toleransi, termasuk mengadakan dialog dengan kelompok lain, agama lain untuk mencari titik-titik pertemuan dan menghindari perbedaan-perbedaan yang tidak produktif. Dialog sesama muslim yang nasionalis juga perlu diadakan untuk membicarakan masa depan umat Islam, bahkan dalam kasus Palestina perlu duduk bersama antara muslim dan Kristen, karena mereka semua adalah penduduk Palestina (Yusuf Qardhawi 2008a, 274).
h. Berlandaskan pada musyawarah dan memberi kebebasan berpendapat
Prinsip wasatiyyah ini mengakui pluralitas dalam perpolitikan, menerima multi partai sebagaimana dalam multi mazhab dalam fikih, karena pada dasarnya partai adalah mazhab politik, dan mazhab adalah partai dalam fikih. Juga menentang keras kediktatoran politik dengan segala macam bentuknya, apalagi dengan mengatasnamakan agama. Sesungguhnya Islam tidak menghendaki bermakmum kepada imam shalat yang dibenci, ini masih dalam sekala kecil dan bernegara skalanya jauh lebih besar, maka demokrasi mempunyai substansi yang sama dengan shura, terutama untuk mencegah kekuasaan yang sewenang-wenang dan kediktatoran, pemimpin semacam Fir’aun dan Namrud wajib diperangi (Yusuf Qardhawi 2008a, 275).
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
75 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
i. Menghidupkan kembali ijtihad
Ijtihad bagi aliran wasatiyyah adalah sebuah kewajiban dan kebutuhan. Perbedaan pendapat dari hasil ijtihad harus dihargai selama dilakukan oleh ahlinya dan berdasar ẖujjah yang nyata, prinsip yang diterapkan adalah saling bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati dan saling memaklumi dalam hal-hal yang berselisih. Ijtihad menunjukkan kemampuan teoretis ajaran Islam dalam menjawab tantangan modernitas. Namun, agar syariat dapat terealisasikan dengan sesuai hingga mencapai kebahagiaan hidup, ijtihad masih memerlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi (Rasito dan Mahendra 2019).
Demikianlah pokok-pokok ajaran wasatiyyah yang diperjuangkan oleh Yusuf Qardhawi, secara garis besar beliau sendiri menyimpulkan sebagai berikut:
"Di antara karakteristik prinsip yang aku berjalan di atasnya adalah: Selalu berpegang teguh dengan ruh tawassut (moderasi), dan lurus diantara berlebihan dan mengabaikan, antara yang ingin berlepas diri dari ikatan hukum yang sudah tetap dengan dalih menyesuaikan didri dengan perkembangan, yang mengagungkan segala sesuau yang baru dengan yang tidak bergeser dari apa yang didapatkan dari nenek moyangnya berupa pendapat, fawa ataupun ungkapan, seolah-olah mensucikan apa-apa yang lama. Islam adalah prinsip pertengahan dalam segala sesuatu, dalam perspektif dan akidah, ibadah dan penghambaan, akhlak dan perilaku, mu'amalah (pergaulan) dan tashri' (penerapan hukum). Dan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
76 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
prinsip ini dinamakan oleh Allah dengan "Shirat mustaqim". Inilah prinsip keutamaan Islam dari para pemeluk agama lainnya, aliran filsafat dan pemikiran lainnya yang termasuk kategori al-maghdub 'alaihim (yang dimurkai) karena meremehkan, mengabaikan ataupun dallin (yang sesat) karena berlebih-lebihan. al-wasatiyyah adalah salah satu dari karakter utama Islam, salah satu rambu prinsip yang Allah melebihkan dan mengutamakan umat Islam dari umat lainnya (al-Baqarah: 143), maka Umat Islam adalah umat keadilan, lurus, pertengahan, menjadi saksi di dunia maupn di akhirat dari setiap penyimpangan, baik ke kanan maupun ke kiri dari garis lurus. Dan wasatiyyah Islam dalam akidah, seperti gambaran wasatiyyah Islam diantara agama-agama lainnya, dan wasthiyah umat Islam diantara umat lainnya dan wasatiyyah ahli sunnah dalam perspektif sebagai firqah najiyah (golongan yang selamat) diantara golongan-gologan lain yang bercerai berai dalam berbagai macam jalan karena berlebih-lebihan ataupun karena meremahkan (Karim 2007).
3.8 URGENSI PRINSIP WASATIYYAT AL-ISLAM PADA ERA GLOBALISASI
Umat Islam menghadapi banyak tantangan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, perdaban, agama, dan lain-lain. Secara militer sudah merdeka namun sebenarnya masih berada dalam kekangan penjajahan dalam bingkai yang lain.
Penyebab dari belenggu krisis yang dialami oleh umat Islam berasal dari titik internal dan eksternal. Titik internal
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
77 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
yang mempengaruhi adalah mulai hilangnya prinsip yang penuh dengan keseimbangan dari sebagian besar panganut agama Islam itu sendiri. Disamping itu, propaganda Barat yang mulai meluas terutama sejak usainya perang dingin abad XX memunculkan reaksi yang bermacam-macam. Fakta inilah yang memunculkan dua alasan dari urgensitas prinsip wasatiyyat al-Islam pada era globalisasi.
a. Misi Perdamaian Sejak turunnya ajaran Islam melalui risalah kenabian, Islam dikenal sebagai agama rahmatan li al-‘Alamin, agama yang dihadirkan kepada seluruh umat manusia dengan penuh kasih sayang. Islam tidak mengajarkan permusuhan, dendam, kebencian, kekerasan dan kerusakan (Zumrotus Sholikhah dan Muvid 2022, 116). Namun, awal abad 20 bermuculan isu yang kerap kali dibicarakan seluruh dunia. Hal ini berkaitan dengan peristiwa terorisme pada 9 September 2001. Sejak itulah agama Islam dituding menjadi penyebab utama, dikarenakan pelaku dari aksi tersebut merupakan bagian dari jaringan al-Qaeda. Rentetan peristiwa lainnya yang megikuti membuat PBB bergerak dan mengumandangkan seruan pada tanggal 8 Desember 2017 akan perlunya moderasi beragama dalam tajuk ‘Resolusi Mempromosikan Moderasi, Menetapkan Hari Internasional Hidup Bersama dalam Damai’, acara ini diadopsi oleh Majelis Umum. Gerakan ini diyakini dapat menjadi solusi dalam mendorong toleransi terhadap segala bentuk perbedaan, baik budaya, adat, hingga
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
78 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
keyakinan dan agama. Konsentrasi dalam mengkaji faktor ekstremisme dan kekerasan dalam agama merupakan bagian dari usaha mewujudkan pandangan baru tentang Islam (Suharto et al. 2023, 115).
Sikap berlebih-lebihan dan keras juga membahayakan umat. Rasulullah bersabda “Jauhilah sifat berlebih-lebihan dalam beragama, sesungguhnya umat sebelum kamu telah hancur karena sikap berlebih-lebihan dalam beragama”. Di haditsnya yang lain Rasulullah bersabda “Celakalah orang-orang yang keras, hal ini diulangi beliau tiga kali” hal ini menunjukkan besarnya bahaya dari sikap keras dan berlebih-lebihan.
b. Kebangkitan Islam (sah{wah al-Islamiyyah)
Dalam prinsip tawazun (seimbang) dalam konsep wasatiyyah sangat berpengaruh pada kebangkitan umat Islam. Seperti halnya sebagian kalangan yang tidak dapat mempertahankan keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat atau keseimbangan antara dalil ‘aql dan naql akan menjadi pemantik dalam kemunduran umat Islam. Kecenderungan akan satu hal menjadikan seseorang meremehkan dan melalaikan sisi lainnya (Bustomi dan Zuhairi 2021, 161).
Umat Islam semakin bertambah dalam segi kuantitas dan umat Islam masih memiliki kitab suci al-Qur’an yang terjada dari penyimpangan dan perubahan. Namun yang terdahulu umat Islam menjadi tuan pemimpin dunia, saat ini mundur dan menjadi terbelakang dari sebagian umat lainnya. Problemnya disebabkan pada kesalahpahaman terhadap
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
79 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
masalah aqidah dan hilangnya prinsip wasatiyyah dari umat Islam.
Konspirasi musuh-musuh Islam tidak pernah berhenti untuk memojokkan Islam pada titik yang rendah, namun kehilangan prinsip wasatiyyah menjadikan umat Islam tidak memiliki persatuan dalam menghadapi kondisi ini. Faktor internal yang tumbuh di kalangan umat Islam dengan hilangnya wasatiyyah ini ibarat kanker ganas yang menggerogoti badan umat Islam, mencerai-beraikan mereka, dan menjadikan mereka umat terbelakang. Melalaikan prinsip wasatiyyah ini, kita terperosok untuk menjadikan manusia sebagai berhala, mazhab sebagai agama, perbedaan pendapat sebagai permusuhan dan rahmah menjadi bencana. Semua itu kita sendiri yang membuatnya. Kita harus memulai dari diri sendiri, dimulai dengan memperbaiki akal dan hati kita secara bersamaan, akal diperbaiki dengan pemahaman prinsip wasatiyyah dan hati dengan memerangi hawa nafsu dan membebaskan diri dari dosa (Farfur 1993, 10–11). Faktanya, Islam moderat atau prinsip wasatiyyat al-Islam kerap kali menjadi terminologi yang dilawankan pada Islam radikal (moderat versus radikal), namun masih sangat jarang untuk dijadikan antitesis atas Islam liberal (Afwadzi et al. 2023, 16).
Tidak ada bahaya yang lebih besar bagi umat Islam saat ini melebihi hilangnya prinsip wasatiyyah dalam pandangan hidup mereka. Memang ada konspirasi dari musuh-musuh Islam yang tidak pernah berhenti memerangi kita, namun kalau kita menjadi umat yang berpegang dengan prinsip
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
80 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
wasatiyyah (mutawassitin) dan bersatu (mutawah{h{idin), tidak ada yang bisa diperbuat oleh musuh Islam. Sebab utama kehancuran umat Islam adalah dari dalam, bukan dari luar. Fakta lain yang perlu diperhatikan adalah fanatisme yang nampak di kalangan sebagian umat beragama seringkali penyebabnya adalah non-religius, meski berkedok agama.
3.9 FORMULASI WASATIYYAT AL-ISLAM
3.9.1 Wasatiyyat al-Islam dalam Aqidah
Sebagai manusia yang memiliki aqidah (keyakinan) tidak pantas untuk, mencampuradukkan, menukar atau mempermainkan keyakinannya. Orang yang senantiasa mempermainkan keyakinannnya cenderung tidak memiliki tujuan hidup dan terombang-ambing dalam ketidakpastian. Hal ini pun dibahas dalam QS. Al-Kāfirūn (109): 1-6 yang memaksudkan pemisahan penyebutan Islam dan kafir hakikatnya adalah untuk mempertahankan aqidah, menyatu dengan satu keyakinan, satu sesembahan, tanpa mencampuradukkan (Jamilah 2023). Aqidah Islam adalah sesuatu yang telah ditetapkan sesuai fitrah, sifatnya tetap dan memiliki batasan-batasan tertentu.
Aqidah adalah landasan pemikiran, dasar persatuaan, alat pengikat dan pondasi dalam penentuan hukum dan perundang-undangan. Aqidah juga dapat berperan sebagai motivator dalam pergerakan dan perjuangan, serta mata air bagi keutamaan budi (Yusuf Qardhawi 2003, 46). Tauhid
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
81 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
menjadi dasar aqidah. Hakikat tauhid dalam aqidah Islam adalah tidak menjadikan selain Allah sebagai Tuhan, tidak menjadikan selain Allah sebagai pelindung, dan tidak menjadikan selain Allah sebagai hakim.(Yusuf Qardhawi 2003, 24) Maka, Qardhawi mengungkapkan pendapatnya terkait nilai wasatiyyah dalam aqidah: (Yusuf Qardhawi 2009b)
1) Aqidah Islam bukanlah aqidah ahli khurafat yang berlebihan dalam keyakinan sehingga mempercayai segala sesuatu tanpa hujjah, bukan pula aqidah kaum matealisme yang meningingkari segala sesuatu diluar jangkauan indra. Islam mengajak pada keimanan dan keyakinan akan sesuatu yang sudah memiliki dalil yang jelas dan kuat.
2) Aqidah Islam bukanlah keyakinan seperti kaum atheisme ataupun politheisme, melainkan keyakinan akan Ketuhanan Yang Maha Esa dan tiada sekutu baginya.
3) Aqidah Islam tidak mengkategorikan alam semesta sebagai wujud al-haq hingga menafikan hal yang tidak terjangkau, tidak pula mengkategorikan alam semesta sebagai wujud fatamorgana. Islam meyakini hakikat alam semesta dengan mengakui hakikat yang lebih besar lagi dibalik penciptaannya.
4) Islam tidak mengkultuskan manusia dan tidak pula memperbudak. Islam memandang manusia sebagai makhluk mukallaf, yang mempunyai peran mengubah suatu kehidupan menjadi lebih baik.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
82 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
5) Islam sebagai ajaran yang tidak mendustakan Nabi, tidak pula menjadikan Nabi sebagai Tuhan.
6) Aqidah Islam tidak mejadikan akal sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan tidak pula menjadikan wahyu sebagai sumber pengetahuan tanpa melibatkan akal.
3.9.2 Wasatiyyat al-Islam dalam Ibadah
Ibadah adalah keseluruhan makna yang mengandung kepatuhan yang bermuara dari kecintaan (Yusuf Qardhawi 2003, 23). Ibadah menjadi asas tegaknya Islam yang merupakan syiar yang telah dibebankan kepada kaum Muslim sebagai sarana taqarrub Islam dan realisasi hakikat keimanan (Yusuf Qardhawi 2003, 77). Islam mengatur ibadah dalam ajaran agama mencakup segala sisi, sisi ketuhanan dan kemanusiaan, juga sisi dunia dan akhirat. Ibadah dalam Islam memiliki hubungan erat dengan akhlak.
3.9.3 Wasatiyyat al-Islam dalam Akhlak
Wasatiyyah dalam bidang akhlak, seperti posisi di antara pelit dan bakhil maka mucullah kedermawanan. Sifat pertengahan antara optimis yang berlebihan dan pesimisme yang berlebihan. Optimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan orang gampang berbuat dosa, sehingga menganggap dirinya pasti mendapatkan surga. Sedangkan pesimisme yang berlebihan dapat mengakibatkan orang gampang putus asa.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
83 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Dalam masyarakat Islam, seluruh dimensi kehidupan, baik seni, ekonomi, politik, bahkan peperangan tidak dapat terlepas dari akhlak. Akhlak mewarnai berbagai persoalan manusia dari urusan kecil sampai besar, pun pada urusan yang bersifat individu maupun sosial (Yusuf Qardhawi 2003, 158).
3.9.4 Wasatiyyat al-Islam dalam Syari’ah
Yusuf Qardhawi, seorang ahli hukum Islam yang terkenal dengan keahliannya, menjadikan setiap fatwa memiliki bobotnya masing-masing. Karyanya tidak hanya berkaitan dengan hukum Islam dan hadis tetapi juga kemaslahatan umat. Hal ini terlihat ketika ia menyoroti permasalahan yang diuraikan di atas dalam bukunya Islam The Central Way. Penting untuk melihat moderasi beragama tidak hanya dari segi kebangsaan tetapi juga dari segi ajaran spiritual.
3.10 TOLERANSI DALAM WASATIYYAT AL-ISLAM MENURUT YUSUF QARDHAWI
Berdasarkan urgensitas wasatiyyah yang disebutkan, peran toleransi kerap kali muncul sebagai nilai yang menjunjung misi perdamaian, menangkal isu radikalisme dan mempersembahkan Islam dengan wajah yang lebih mewujudkan kebersamaan dan anti kekerasan. Toleransi telah menjadi fenomena yang berkembang di beberapa negara, membuka akal dan hati nurani demi menyongsong masa depan peradaban dunia yang lebih inklusif dan ideologis. Bahkan aliansi agama-agama telah berkembang di berbagai
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
84 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
negara untuk memberi harapan baru bagi kesetaraan, kedamaian, dan kerukunan (Misrawi 2017). Konsep wasatiyyat al-Islam pada abad pertengahan ini dapat menjadi referensi dalam mewujudkan masyarakat yang penuh toleransi dalam segala perbedaan (Suharto et al. 2023, 116).
Untuk mempersembahkan keluwesan dan keluasan syariat Islam, Qardhawi mendalami salah satu prinsip yang disebut minhaj taysir (kemudahan). Namun dalam prinsip wasatiyyah minhaj tersebut tidak dikenali sebagai asumsi manusia, namun minhaj ini berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Apabila kekakuan dan kerumitan merupakan ciri ekstremisme dalam Islam, maka mencari kemudahan akan terlaksananya ajaran agama merupakan ciri dari wasatiyyah (Nidhom 2023, 81).
أن مسلكي هذا هو عين الوسطية، فليس معنى الوسطية أن تأخذ دائما موقف
السماحة والتيسير بل الوسطية الحقة: أن تشد د حيث ينبغي التشديد، وتي سر -
حيث ينبغي التيسير، وأن تأخذ باللين والرفق مع من يستح ق ذلك، وتأخذ
بالغلظة والعنف مع من يستح قها.
Toleransi dalam beragama Islam tidak diartikan sebagai kebolehan atau kebebasan menganut agama atau bebas mengikuti ritual dan ibadah semua agama tanpa aturan. Akan tetapi, toleransi harus dipahami sebagai sistem yang membuka ruang kebebasan dalam menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing (Mahmud 2021, 55).
Menurut Hashim Kamali, prinsip wasatiyyat al-Islam
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
85 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
mencakup segala bidang yang dimulai dari unsur tauhid (kesatuan) yang kemudian mengikat berbagai macam dimensi (Suharto et al. 2023, 123). Ayat Al-Qur’an yang mengajarkan prinsip toleransi adalah surat Al-Kafirun, dimana dalam ayat tersebut setiap Muslim dilarang mengintervensi peribadatan agama lain dan tidak memberikan kebebasan (Surahman, Sunarya, dan Yuniartin 2022, 153).
Lazimnya gerakan LGBT dengan mengangkat kepentingan Hak Asasi Manusia telah dilegalkan di beberapa negara. Sedangkan dalam prinsip wasatiyyat al-Islam bentuk toleransi harus diukur keseimbangannya berdasarkan halal haram, dan ketentuan hukum yang telah diatur syariat dan menjadi hak Allah, bukan diatur oleh hak asasi manusia.
Kebebasan beragama yang diberikan Islam mengandung tiga makna: Pertama, Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agamanya masing-masing tanpa ada ancaman dan tekanan. Tidak ada paksaan bagi orang non-muslim untuk memeluk agama Islam. Kedua, apabila seseorang telah menjadi muslim, maka ia tidak sebebasnya mengganti agamanya, baik agamanya itu dipeluk sejak lahir maupun karena konversi. Ketiga, Islam memberi kebebasan kepada pemeluknya menjalankan ajaran agamanya sepanjang tidak keluar dari garis-garis syariah dan aqidah.
Kebebasan dalam Islam tetap memegang unsur-unsur kuat yang bersifat thawabit. Mengabaikan pokok-pokok ajaran sama saja dengan mengenal Islam sekedar pada wujudnya, bukan hakikat atau kebenarannya. Islam adalah agama yang
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
86 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
hakikatnya adalah tauhid. Esensi Islam akan memudar dan dinyatakan hilang apabila umatnya mengabaikan prinsip tauhid dalam berkeyakinan (Yusuf Qardhawi 2005).
Dengan hal ini, diantara tiga pokok ajaran Islam meliputi iman, islam dan ihsan, iman menjadi pokok prinsip dan bukan sesuatu yang dapat diubah. Iman merupakan kekuatan petunjuk (quwwah hadiyah), yang membatasi manusia akan pandangan hidupnya dan memahami tujuan dan cara hidupnya. Dengan iman, hidup akan ternaungi oleh petunjuk (basirah). Iman juga merupakan kekuatan yang mendorong (quwwah hafizah), mendorong manusia untuk berbuat kebaikan. Iman pula yang memiliki kekuatan pengendali (quwwah dabitah), mengendalikan manusia untuk cenderung berbuat baik dan menjauhkan dari segala perkara yang mnegarah pada keburukan. Uraian Qardhawi yang terakhir menyebutkan bahwa iman juga sebagai kekuatan yang mendorong ketenangan (masdar sakinah) (Yusuf Qardhawi 2008a).
3.10.1 Landasan Intelektual Toleransi dalam Ajaran Islam
Islam menyikapi persoalan intoleransi terhadap agama lain dengan menanamkan seperangkat prinsip dan landasan yang menyebarkan suasana toleransi terhadap agama lain meskipun ada keyakinan bahwa hanya agama Islam-lah yang mengandung nilai-nilai kebenaran. Pedoman yang menjadi landasan dalam sikap toleransi tersebut dituliskan Qardhawi dalam artikel yang dimuat dalam situs online berjudul ‘Inna ad-
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
87 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Dina ‘inda Allah al-Islam’ diantaranya:
a. Perbedaan penciptaan terjadi atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa, hal ini sejalan dengan apa yang difirmankan Allah dalam kitab sucinya:
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاَٰ مَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَانَْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتهى يَكُوْنُوْا
مُؤْمِنِيْنَ
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya berimanlah seluruh orang yang ada di muka bumi, semuanya bersama-sama. Maka apakah kamu memaksa manusia hingga mereka menjadi beriman?” [Yunus: 99].
b. Segala sesuatu yang diperoleh manusia dari petunjuk atau kesesatan, pertanggungjawabannya di akhirat dan tempat hisabnya adalah alhirat, bukan dunia. Firman Allah SWT menyebutkan:
هَ اللُّٰ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْ مَ الْقِيَٰمَةِ فِيْمَا كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُوْنَ
“Allah akan memutuskan di antara kamu pada hari Kiamat apa yang selalu kamu perselisihkan. Al-Ḥajj [22]:69”
c. Islam mengajarkan untuk memuliakan seluruh makhluk Allah, terutama manusia. Baik muslim maupun non-muslim Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
88 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٰٓ اَٰدَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى الْبَ ر وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُمْ منَ الطَّي بَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ
عَلَٰى كَثِيْرٍ ممَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” Al-Isrā' [17]:70
dan Nabi Muhammad saw. saw, melewati prosesi pemakaman dan dia berdiri di sana untuk menghormatinya, maka mereka berkata: Wahai Rasulullah, itu adalah pemakaman seorang Yahudi, maka dia berkata : Salam dan berkah besertanya: “Bukankah dia juga manusia?”
d. Islam membawa keadilan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana wahyu yang diturunkan dalam Surat Al-Maidah dalam membela seorang Yahudi yang dituduh mencuri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَٰٰٓايَُّهَا الَّذِيْنَ اَٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ هِ لِلِّ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاَٰنُ قَوْمٍ عَلَٰٰٓى
اَلَّا تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوَٰى وَاتَّقُوا ه اللَّٰ اِنَّ ه اللَّٰ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
89 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Al-Mā'idah [5]:8
3.11 TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA Yusuf Qardhawi sebagai Presiden Persatuan Ulama Internasional menyebutkan keniscayaan pluralitas dalam kepercayaan (agama). Namun, pluralitas dan keberagaman agama yang dimaksud bukan berarti menganggap semua agama benar secara merata, makna yang diambil dari pluralitas agama adalah munculnya keberagaman agama yang manjadikan seseorang hendak mengakui hak orang lain untuk tinggal bersama, bertetangga, bekerja sama dan saling memabntu dalam pelayanan kemanusiaan. Setiap agama berhak meyakini bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang terbaik, karena tidak mungkin seseorang menjatuhkan pilihan untuk memeluk agama kecuali telah meyakini akan kebenaran yang ada dalam ajarannya. Dalam konsep ini keyakinan bahwa agama saya yang benar dan yang lain salah adalah hak dalam berkeyakinan. Qardhawi memiliki klasifikasi tersendiri dalam memberikan sikap toleransi kepada penganut agama yang berbeda, derajat minimal toleransi adalah memberi kebebasan dan kepercayaan tanpa ada unsur pemaksaan untuk memeluk
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
90 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
agama atau doktrin yang dipercayai oleh dirinya. Derajat minimal toleransi adalah memberikan kebebasan kepada lawan atas agama dan kepercayaannya, dan jangan memaksanya untuk memeluk agama atau doktrin Anda. Toleransi derajat menengah adalah dengan memberinya hak untuk meyakini agama dan aliran apapun yang dianutnya. Jangan membatasi orang yang tidak sependapat dengan apa yang diyakininya.
Dalam jawabannya mengenai konflik keyakinan pluralisme agama dengan hak umat Islam untuk mengajak non-Muslim, ia menjelaskan:
“Kalau kita mengatakan pluralisme agama berarti semua agama benar, itu tidak benar. Pluralisme agama berarti saya benar dan yang lain salah. Karena menyatakan kebenaran akan agamanya dan yang lain salah adalah hak bagi setiap manusia dan itulah hak mereka untuk hidup. Bahwa aku bekerjasama dengan mereka dalam kebenaran dan takwa, dan merupakan hakku untuk berdamai dengan orang-orang yang berdamai denganku dan untuk berdamai dengan mereka. maka lawanlah orang-orang yang memerangi aku, maka selama aku yakin orang lain itu salah, maka hakku untuk menyerunya, melainkan kewajibanku untuk menyerunya kepada agamaku, sesuai dengan firman Yang Maha Kuasa: Dan siapakah yang lebih baik? ucapannya dibandingkan orang yang menyeru kepada Allah dan beramal shaleh lalu berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang Islam.” [Fussilat: 33].
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
91 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Al-Qaradawi menekankan bahwa penerbitan ulang kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW, “merupakan penghinaan besar terhadap bangsa, meremehkannya, dan memprovokasi perasaannya. menerbitkan kembali kartun-kartun yang diperoleh Denmark atau negara mana pun dengan menerbitkan gambar-gambar yang menghina, memfitnah, dan menghina.” "Untuk sosok manusia terhebat yang dikenal dalam sejarah umat manusia."
Meskipun ia menekankan bahwa negara mempunyai hak untuk marah dan memberontak, ia meminta negara tersebut untuk tetap tenang dan menanggapi masalah ini secara rasional dan bijaksana, dan pada saat yang sama menyerukan untuk segera mengambil cara damai dan hukum untuk mengadili orang-orang ini dan untuk melakukan tindakan hukum. berupaya untuk mengeluarkan undang-undang yang mengatur tindakan-tindakan tersebut. Ia menegaskan, persoalan kebebasan berekspresi adalah satu hal, dan menghina dan mengumpat adalah hal lain.Tidak seorang pun atas nama kebebasan berekspresi dapat menghina dan menghina orang lain.
Beberapa teori yang memandang pluralitas agama diantaranya, teori inklusivitas, eksklusifitas, dan pluralisme. Aliran eksklusif menganggap bahwa agama-agama lain seperti Yahudi dan Kristen, meskipun awalnya berasal dari Tuhan, telah mengalami penyimpangan dalam ajarannya. Mereka memahami Islam sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, bukan sekadar sebagai misi kepatuhan,
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
92 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
ketundukan, dan keikhlasan beribadah kepada Allah. Pandangan ini menyebabkan mereka hanya menerima Islam sebagai agama yang benar dan menolak agama-agama lainnya (Fuadi 2018). Sedang Islam inklusif adalah Islam yang bersifat terbuka. Keterbukaan ini tidak hanya dalam hal berdakwah atau hukum, tetapi juga dalam masalah ketauhidan, sosial, tradisi, dan pendidikan. Pandangan ini muncul karena sebagian kelompok atau suku meyakini bahwa semua agama memiliki kebenaran. Islam Inklusif hadir tanpa menghapus nilai-nilai kebenaran yang terdapat dalam agama lain. Pendekatan inklusif ini juga menunjukkan bahwa tidak ada penyeragaman atau paksaan terhadap agama lain, baik dalam keyakinan maupun cara beribadah mereka. Islam Inklusif mengakui toleransi terhadap budaya, adat, dan seni yang menjadi kebiasaan masyarakat. Pandangan ini juga mengakui adanya pluralitas yang dapat membantu meminimalkan konflik antarumat beragama (Fuadi 2018). Sedangkan pluralisme dalam upaya teologi global, John Hick menggulirkan sebuah transformasi dari pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan. Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa jalan keselamatan tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang dilalui manusia sebagai respon terhadap realitas Ketuhanan yang absolut (Saifulloh 2015, 23–24).
Dengan uraian Qardhawi menyikapi pluralitas, cara pandang yang diambil adalah cara pandang ekslusif dengan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
93 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
menyatakan bahwa agama yang benar adalah Islam, sedang yang lain tidak benar. Maka, muncul kewajiban seorang Muslim untuk mengajak non-Muslim menuju kepercayaan yang benar tersebut, yakni agama Islam. Pemaknaan kebebasan bagi pemeluk agama Islam dan selainnya pun menjadi berbeda, karena memilih beragama berarti memilih prinsip, maka ketundukan akan ketentuan menjadi kewajiban pemeluknya. Beberapa hal yang dapat dijadikan gambaran toleransi dalam kepribadian Yusuf Qardhawi dalam menyikapi isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan pluralitas agama diantaranya sikap dalam mengambil pendapat terkait peran agama dan negara, begitupula bagaimana ia memaknai jihad bagi seorang Muslim.
a. Peran Agama dan Negara dalam Wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi
Sarjana dan para ilmuwan Muslim berbeda pendapat dalam menyikapi hal baru dalam fikih bernegara, antara kejumudan dan kebablasan. Qardhawi sebagai ahli hukum kontemporer, terus mengikuti perkembangan zaman sehingga berusaha menjembatani dua kubu yang berseberangan. Qardhawi menyatakan adanya relasi yang kuat, dalam perkara seputar agama dan negara. Dikotomi antar keduanya termasuk pemisahan antara politik dan agama pun tidak dibenarkan. Baginya, Islam sebagai agama yang sempurna, syariatnya telah mencakup semua lini kehidupan (agama dan dunia, akidah dan syariat, ibadah dan muamalah, dakwah dan dawlah, serta
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
94 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
akhlak dan kekuatan).(Sudarto 2021, 19) Karakter dasar risalah Islam pun menyerukan pada keberaturan sehingga tidak mungkin mengabaikan urusan pemerintahan (dawlah) yang dengannya akan tercipta keamanan, keadilan, dan perdamaian.
Menyikapi anjuran Islam yang menyeru pada keberaturan, keadilan, dan perdamaian, maka praktek dalam membentuk kepribadian yang baik, keluarga yang baik, lingkungan masyarakat, terlebih pembentukan pemerintahan yang baik merupakan praktek yang diperlukan dalam beragama. Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa menegakkan pemerintahan dalam rangka mengatur kepentingan manusia adalah salah satu kewajiban agama yang paling besar.(Sudarto 2021, 21)
Negara Islam yang dimaksud bukanlah negara autokrasi yang bersifat otoriter dan sewenang-wenang, seperti kerajaan Namrud dan Fir’aun, atau negara monarki ala Kisra dan Kaisar, bukan negara teokrasi yang berkuasa atas nama hak Tuhan, serta bukanlah negara rijal ad-din (pemimpin agama) yang beranggapan bahwa pemimpinnya merupakan cerminan kehendak Tuhan. Negara yang dimaksudkan dalam Islam adalah negara yang bisa menegakkan akidah, syiar-syiar agama, ajaran, akhlak, dan syariat Islam. Negara tersebut didirikan atas dasar kesetiaan dan mengedepankan musyawarah, dipimpin oleh pemimpin terpilih dengan kepribadian yang kuat dan terpercaya (Yusuf Qardhawi 1996).
Empat tujuan atas terbentuknya negara yang
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
95 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
didasarkan syari’at Islam menurut Qardhawi adalah menjaga dan melindungi rakyat, menunaikan amanat kepada yang berhak, menegakkan keadilan bagi umat manusia, dan mengokohkan agama di muka bumi. Dalam prinsip menjaga dan melindungi rakyat, negara juga berkewajiban untuk menjunjung tinggi kebebasan dalam beragama, kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan ilmiah dan berfikir. Penghormatan atas hak-hak manusia dan kebebasan ini bukan terlahir dari ide individu muslim namun merupakan perintah langsung dari syariat. Negara dalam Islam adalah yang melindungi hak-hak orangorang lemah (marginal) bukan untuk melindungi kepentingan kaum elit. Negara mewajibkan mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya lalu diberikan kepada yang berhak dari orang (Sudarto 2021, 22).
Terkait demokrasi yang diterapkan dalam suatu negara, pemikir Islam pun banyak mengkritisi sistem pemerintahan ala Barat tersebut dan masih terjadi perbedaan pendapat. Qardhawi menguaraikan seluk beluk demokrasi yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah dalam kitab yang ditulisnya, yakni ‘Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam’. Bagi sebagian ulama, substansi demokrasi yang banyak diimpikan oleh beberapa negara adalah sarana yang ampuh untuk melawan dominasi kekuasaan pribadi dan politik yang bersifat otoriter. Namun, sebagian lain berpendapat bahwa demokrasi dianggap sebagai kekufuran dan kemunkaran karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Qardhawi tidak menjelaskan definisi demokrasi secara mendetail namun fokus pada substansi dari
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
96 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
demokrasi itu sendiri. Substansi demokrasi adalah pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk memilih pemimpin yang mereka kehendaki untuk mengurus urusan mereka. Dengannya, pemimpin berhak dikoreksi dan dikritisi ketika melakukan kesalahan. Demikian pula, jika ada yang menentang atau memberontak pemimpin yang sah maka berhak dijatuhi hukuman. Inilah subtansi hakiki dari demokrasi yang secara bentuk dan praktek tercermin dalam pemilihan umum, jajak pendapat, menetapkan suara mayoritas, multipartai politik, hak minoritas, kebebasan pers dan independensi pengadilan dan hukum (Yusuf Qardhawi 1996). Sebagai penunjang peradaban Islam, wasatiyyah memosisikan dirinya sebagai bentuk keseriusan, ketersinambungan dengan penuh komitmen untuk memperoleh hasil yang maksimal tanpa memisahkan antara agama dan tugas negara (Deny Irawan 2018).
Al-Qardawi melanjutkan: “Jika suatu negara tidak mempunyai banyak agama, tetapi terdapat mayoritas agama yang jelas, maka negara tersebut berhak untuk dinilai berdasarkan agama dan keyakinannya, terutama jika negara tersebut mayoritas beragama Islam, karena agamanya memerintahkan untuk melakukan hal tersebut, dan hal ini berbeda dengan mayoritas agama lain yang agamanya tidak memerintahkan untuk melakukan hal tersebut, dan itu seperti agama Kristen.” Tidak ada hukum yang mengikat, tetapi Islam memiliki hukum yang mengikat. yang harus diambil oleh setiap orang, dan tidak seorang pun mempunyai pilihan dalam
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
97 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
menghadapi finalitas undang-undang ini.”
Dengan anjuran untuk membangun pemerintahan berdasarakan syari’at Islam, Qardhawi menegaskan akan pentingnya memberi perhatian pada kepentingan non-Muslim minoritas, dengannya ia menyatakan: “orang-orang yang hidup di bawah perlindungan pemerintah Islam berhak menerima hak-hak istimewa, mereka disebut ‘protected people’ (ahl al-dzimmah).” Ahl al-dzimmah dimaksudkan bahwa Allah, Rasul-Nya dan komunitas muslim berjanji bahwa mereka akan mendapatkan perlindungan dan keamanan di bawah pemerintahan Islam.
b. Jihad dalam Wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi
Pengertian jihad dalam Al-Qur’an hendaknya dimaknai lebih luas daripada sekedar peperangan. Jihad dalam Al-Qur’an meliputi jihad hawa nafsu (syaitan), jihad melawan kerusakan, kedzaliman, dan kemunkaran dalam masyarakat, jihad menolak kemunafikan, jihad dalam menyebarkan dakwah, jihad dalam bersabar dan adapula jihad melawan musuh dengan pedang (Yusuf Qardhawi 2009a). Maka darinya, perkara jihad dapat dibagi menjadi amalan hati yang dengannya timbul niat dan kemauan, amalan lisan yang dengannya seseorang berdakwah dan memberikan penjelasan, amalan akal yang dengannya seseorang berpikir, dan amalan jiwa yang dengannya seorang Muslim mengorbankan jiwanya (Yusuf Qardhawi 2009a).
Makna jihad yang dikonversikan dengan makna qital
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
98 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
(peperangan) saja, memunculkan stereotype Barat bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan peperangan dan kekerasan. Walaupun bantahan historis dan teologis terhadap kekerasan telah banyak dikemukakan oleh ilmuwan dan sarjana cendekiawan Muslim tetapi eksistensi dari gerakan Islam garis keras menjadikan Islam diekspresikan dalam dua wajah yang bertentangan, yakni ‘wajah damai’ dan ‘wajah perang’ (Safrodin 2019).
Pemahaman yang melenceng terhadap definisi jihad dalam Islam semakin memperkeruh keadaan dan memperburuk citra Islam. Seperti halnya jihad kaum Muslimin terhadap orang kafir dianggap sebagai kewajiban. Perkara besar yang telah menjadi paham mayoritas adalah Islam mengajarkan dan memerintahkan para pemeluknya untuk memerangi siapapun yang tidak seiman dengannya sampai kemudian menyatakan keislamannya. Adapun kelompok yang menghendaki pemaknaan jihad dengan menghapus makna ‘qital’ dan dianggap ayat-ayat peperangan tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Anggapan mereka hanyalah urgensitas pada jihad melawan hawa nafsu dengan sarana meningkatkan kualitas ibadah dan ketaqwaan seorang individu adalah jihad yang paling utama.
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa dua golongan diatas belum mencapai titik tawassut dalam menghadapi dan memaknai fenomena jihad. Kelompok hendak menghapus dan menyatakan dihapusnya ayat peperangan digolongkan sebagai kelompok tafrit (lalai), hingga pemahaman ini
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
99 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
menjadikan setiap Muslim beragama sekedar memenuhi haknya namun kurang bersinergi dan seolah-olah tidak memiliki kekuatan, membiarkan agama hidup dengan ketentuan yang tercantum di mushaf tanpa ingin berbuat, serta berusaha menjaga kesucian tanpa ingin melindungi. Sedangkan kelompok memiliki paham jihad sebagaimana hendaknya memerangi orang kafir tanpa terkecuali digolongkan sebagai kelompok ghuluww (berlebihan). Ajaran Islam tidak mewajibkan memerangi orang kafir kecuali dalam keadaan tertentu, maka anggapan bahwa hanya melihat status kafir dalam menjadikan alasan penyerangan termasuk sifat berlebihan yang menimbulkan citra buruk bagi umat Islam itu sendiri, yakni agama yang penuh dengan kekerasan (Yusuf Qardhawi 2009a). Ayat Qur’an yang diambil dari paham ini adalah:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ
“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci.” (Al-Baqarah: 216)
Gerakan yang mendukung kekerasan ini disebut radikalisme. Dengan adanya kelompok yang menganut paham kekerasan sebagai sarana jihad dan dikaitkan dengan ayat peperangan dalam Al-Qur’an, maka seringkali radikalisme dikaitkan dengan agama. Sedangkan, belum ada ajaran agama manapun yang mengajarkan atau menganjurkan kekerasan.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
100 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Semua agama menghendaki kehidupan yang damai dunia dan akhirat (Husna Amin dan Saiful Akmal 2021, 142–143).
Posisi Qardhawi dalam menyikapi fenomena ini adalah dengan mengambil dan mengukur sesuai syari’at dan realitas (Yusuf Qardhawi 2009a). Jihad dalam arti perang menurut Yusuf Qardhawi sendiri dibagi atas dua hal yakni peperangan sebagai sarana melindungi diri (jihad ad-daf’i) dan peperangan dalam penaklukan wilayah. (jihad al-talab) (Yusuf Qardhawi 2015).
Peperangan sebagai sarana melindungi diri (jihad al-daf’i) adalah peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah beserta para sahabatnya, yakni melawan terhadap serangan musuh yang telah berbuat dzalim serta menyerang dengan menggunakan senjata. Zaman sekarag dapat digambarkan bahwa jihad rakyat Palestina dalam melawan Israel merupakan kategori dalam jihad ini. Sedangkan jihad al-talab, diartikan sebagaimana kaum Muslimin yang melakukan peperangan di wilayah lawan demi memperluas kekuasaan seperti yang dilakukan para sahabat dalam futuh{at (Yusuf Qardhawi 2009a).
Perkara jihad yang tercantum dalam beberapa ayat Al-Qur’an memiliki nilai yang tetap (thawabit) dan dapat berubah (mutaghayyirat). Diantara nilai tetap yang terkandung dalam prinsip jihad adalah anjuran untuk melindungi diri sendiri dari ancaman.(Yusuf Qardhawi 2015)
Dengan adanya jihad al-daf’i dan jihad al-talab bukan berarti kaum non-Muslim yang damai, yang tidak memerangi
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
101 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
umat Islam demi agama, tidak mengusir mereka dari rumahnya, tidak mendukung pengusiran mereka, dan tidak muncul dalam perkataan dan perbuatan mereka kejahatan yang mereka sembunyikan terhadap kaum muslimin, melainkan mereka menutup tangan dan lidah mereka dari kaum muslimin, dan mengucap perdamaian hendak dan harus diperangi (Yusuf Qardhawi 2015). Sesungguhnya Islam mengajarkan bahwa hubungan antar manusia dengan manusia lain adalah kedamaian dan keselamatan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إلَّا الَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ اِلَٰى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ ميْثَاقٌ اَوْ جَاۤءُوْكُمْ حَصِرَتْ صُدُوْرُهُمْ اَنْ
يُّقَاتِلُوْكُمْ اَوْ يُقَاتِلُوْا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَاۤءَ ه اللُّٰ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوْكُمْ فَاِنِ اعْ تَزَلُوْكُمْ
فَلَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ وَاَلْقَوْا اِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ ه اللُّٰ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلًا
“Kecuali, orang-orang yang menjalin hubungan dengan suatu kaum yang antara kamu dan kaum itu ada perjanjian (damai, mereka jangan dibunuh atau jangan ditawan). (Demikian juga) orang-orang yang datang kepadamu, sedangkan hati mereka berat untuk memerangi kamu atau memerangi kaumnya. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia berikan kekuasaan kepada mereka untuk menghadapi kamu sehingga mereka memerangimu. Akan tetapi, jika mereka membiarkanmu (tidak mengganggumu), tidak memerangimu, dan menawarkan perdamaian kepadamu (menyerah), Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka” (An-Nisā' [4]:90)
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
102 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Dengan pengertian jihad diatas, Qardhawi pun menguraikan bahwa zaman kontemporer dengan berbagai perkembangannya telah menyediakan sarana jihad yang lebih luas. Sarana jihad yang membuat dakwah kita dapat disebarluaskan tanpa prosedur yang rumit. Siaran secara online, artikel yang dapat disebarkan melalui website-website online juga sangat membantu dalam proses berdakwah dan menegakkan agama Allah (Yusuf Qardhawi 2009a).
Qardhawi juga membedakan pengertian jihad dengan beberapa kata mirip lainnya dalam bahasa Arab, seperti h{arb, ‘unf, dan irh{ab. Jihad sendiri dimaknai sebagai sarana dalam menegakkan kalimat Allah sehingga lingkup pengertiannya dibatasi dalam syariat, serta memiliki tujuan, motif cara dan aturan yang berbeda dengan h{arb. H{arb dalam kamus dimaknai perang, perang yang seringkali dilakukan utuk memaksakan kekuasaan atas bangsa lain, menguasai sumber ekonomi, atau motif-motif duniawi lainnya. ‘Unf memiliki pemaknaan sendiri terhadap segala perbuatan berbau kekerasan, sedang irhab bermakna teror, dimana memiliki arti yang lebih sempit lagi dibanding jihad. Sayangnya, sebagian besar kalangan masih sering membelokkan makna jihad dan mengidentikkkannya dengan teror dan kekerasan. Luasnya makna jihad dalam pembahasanya dalam Fiqh Jihad diakhiri dengan tiga hal yang menjadi kewajiban umat Islam saat ini dalam berjihad, yakni jihad membebaskan diri dari penjajahan (utamanya dalam membela Palestina), jihad mengubah sistem kafir yang berkuasa, dan jihad menyampaikan dakwah Islam
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
103 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
ke seluruh penjuru dunia.
3.12 SIKAP MODERAT QARDHAWI ANTARA FUNDAMENTALISME DAN LIBERAL
Uraian pada sub-bab sebelumnya menjelaskan bahwa Yusuf Qardhawi sangat memperhatikan nilai-nilai yang ditanamkan prinsip Islam dalam upaya penegakan sikap moderatnya, sehingga apa yang menjadi pendapat dan fatwanya senantiasa disandarkan oleh ilmu fiqh, baik fiqh al-Taysir, fiqh al-Waqi’, fiqh al-Awlawiyyat dan berbagai macam pertimbangan dalam hukum Islam.
Sikap moderat seringkali mendapat posisi pertengahan antara fundamentalisme dan liberal namun berbeda dengan Qardhawi yang menempatkan sisi moderatnya cenderung pada nilai-nilai yang terkandung dalam lingkup fundamentalis. Bagi Qardhawi, jika apa yang dituduhkan pada golongan fundamentalisme adalah kembali ke pokok, pondasi, dasar atau akar yang memang tidak boleh dipisah oleh agama, maka sebutan tersebut tidak akan menggeser posisinya dalam berprinsip (Susiana 2008, 98).
Label yang disematkan pada golongan fundamentalisme terbagi menjadi empat dalam klasifikasi Yusuf Qardhawi itu sendiri:
1. Kelompok Takfir
Kelompok ini muncul dengan mempersepsikan golongan lain sebagai orang kafir selama tidak sejalan dengan apa yang menjadi prinsipnya.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
104 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
2. Kelompok Garis Keras
Kelompok ini cenderung menggunakan kekerasan dan senjata. Dasar yang menjadikan gerakan ini muncul adalah dengan latarbelakang bagaimana menyikapi kewajiban jihad dalam menghadapi siapapun yang menghalangi pelaksanaan fardhu Islam dan keharusan dalam mengubah kemungkaran dengan kekuatan, atau tangan siapapun yang sanggup melakukannya.
3. Kelompok Literal dan Jumud
Kelompok yang literal dalam masalah fikih, mencari sulit dalam berfatwa, cenderung tidak membuka sisi kemudahan dalam mengerjakan kewajiban agama dan menolak tajdid.
Kelompok yang mengambil jalan pertengahan dan berpijak pada pola kemudahan tajdid.
Kelompok dengan prinsip wasatiyyat al-Islam memang sering digolongkan dalam aliran fundamentalis, karena jumhur terbesar menyebut fundamentalis karena melekat dengan “fondasi” dan dapat diartikan sebagai asas, dasar, dan sendi yang meliputi empat hal:
a) Keyakinan yang menjadi landasan iman
b) Ketentuan syariat yang sudah pasti
c) Nilai-nilai akhlak
d) Peradaban
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
105 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Qardhawi mengakui posisinya berada dalam kategori keempat dari klasifikasi golongan fundamentalisme dan baginya posisi ini merupakan posisi yang aman dan sesuai dalam penegakan prinsip Islam moderat.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
106 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
107 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
BAB 4
MODERASI BERAGAMA DI INDONESIA
4.1 TOLERANSI DALAM MODERASI BERAGAMA
Pluralisme adalah sistem nilai atau pandangan yang mengakui keragaman dalam suatu bangsa. Keberagaman ini harus dilihat secara positif dan optimis oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai kenyataan yang nyata dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Esensi pluralisme tidak hanya sekadar pengakuan terhadap keberagaman, tetapi juga memiliki implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam agama memiliki kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing-masing, yang berpotensi menimbulkan konflik. Indonesia adalah contoh masyarakat multikultural, dengan keragaman yang tidak hanya meliputi suku, budaya, bahasa, dan ras, tetapi juga agama. Agama-agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia saat ini meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu (Salim 2022).
Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia sangat menekankan terciptanya kerukunan antar umat beragama. Konflik berlatarbelakang agama seringkali terjadi, mengingat beragamnya watak dan latar belakang agama yang ada di Indonesia. Maka, untuk menciptakan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan membutuhkan visi dan solusi. Moderasi beragama di Indonesia adalah salah satu upaya negara dalam menghadirkan nilai-nilai yang menghargai
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
108 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
keberagaman agama. Ide dalam moderasi beragama sendiri adalah mengangkat persamaan, bukan pada mempertajam perbedaan, dengannya tercipta kehidupan beragama yang rukun, harmoni, damai, dan menekankan pada keseimbangan (Diklat 2022, 10–13).
Karakter moderasi beragama menjadikan kebaragaman adalah sesuatu yang niscaya, sehingga menimbulkan keterbukaan, penerimaan, dan kerjasama dari masing-masing kelompok yang berbeda. Indikator moderasi beragama cenderung bergerak menuju pusat atau sumbu, maka dapat dikatakan bahwa sikap moderat pada dasarnya merupakan keadaan dinamis (selalu bergerak). Seorang yang bersikap moderat dapat mengkompromikan antara akal dan wahyu. Untuk mengetahui kekuatan moderasi beragama ada empat hal yang perlu diperhatikan yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal (Diklat 2022, 42).
Meskipun penduduk Indonesia secara mayoritas adalah muslim, Indonesia telah seimbang memfasilitasi kepentingan umat agama lain, dengan menyediakan tempat ibadah, menentukan hari libur keagamaan, pelestarian pada tradisi, adat istiadat dan kearifan lokal. Masyarakat luas dunia memandang bahwa tingkat toleransi di Indonesia sangat tinggi karena masing-masing pemeluk agama meyakini bahwa dalam hakikatnya agama diturunkan untuk menebar kedamaian dan merupakan rahmat bagi sesama.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
109 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Moderasi beragama tidak dapat dipisahkan dari terma toleransi, karena dalam ide yang dibangun moderasi beragama adalah proses dan hasil yang diwujudkan adalah sikap toleran. Toleransi dalam konteks ini dapat dirumuskan dengan keterbukaan dan ketersediaan menerima pendapat dari orang lain hingga dengannya memiliki duan fungsi. Fungsi pertama yaitu mengemukakan pandangan dan menerima pandangan dalam batas-batas tertentu tanpa merusak keyakinan. Toleransi aktif dalam setiap pemeluk agama dibutuhkan, sehingga tidak sekedar memandang perbedaan sebagai hal niscaya, namun turut menumbuhkan usaha lebih dalam memahami persamaan dan perbedaan agama lain.
Beberapa alasan yang menjadikan moderasi beragama di Indonesia sangat penting untuk diperlukan diantaranya: 1) sebagai strategi kebudayaan dalam merawat ke-Indonesiaan, 2) menghargai akan hadirnya agama dalam kehidupan manusia semata-mata untuk menjaga martabat dan mewujudkan kedamaian, 3) mencegah konflik kemanusiaan dengan latar belakang agama (Abror 2020, 153).
Namun disamping pada dampak kedamaian yang telah terwujud dan tersorot oleh dunia, krisis akhlak dan moral terutama di kalangan anak muda/ remaja pun menjadi salahsatu problematika yang mengkhawatirkan pada akhir-akhir ini. Warna moderasi beragama pun cenderung memberi warna yang terkesan memaksakan toleransi beragama yang secara fakta di lapangan malah terkesan kebablasan, sehingga
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
110 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
secara tidak sadar telah memisahkan seseorang dari agama mereka (Sari 2024).
Emmanual Levinas, seorang filsuf Perancis menyatakan bahwa krisis akhlak berasal dari ideologi kemajuan yang dibarengi dengan paham kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang melampaui batas toleransi. Longgarnya pegangan agama pun akan berdampak pada hilangnya kontrol terhadap diri sendiri, masyarakat dan hukum (Erica Rahmasari 2022, 177).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi para cendekiawan Islam mengambil langkah untuk menerbitkan fatwa tegas dalam menyikapi pluralitas agama. Kemajemukan agama dalam arti sosial tidak bisa disamakan dengan paham yang menjadikan semua agama benar adanya (pluralisme). Pluralitas agama adalah kenyataan yang harus diterima sebagai keniscayaan dan hendaknya disikapi dengan toleransi dalam hidup berdampingan. Setiap pemeluk agama dapat mengklaim kebenaran agama masing-masing (Keagamaan 1970).
Meski begitu, beberapa fatwa dari MUI dinilai kontroversi oleh sebagian kalangan. Sebagaimana halnya fatwa yang dikeluarkan pada tanggal 30 Mei 2024 terkait haramnya mengucapkan salam lintas agama, menimbulkan respon yang bermacam-macam. MUI menjelaskan bahwa salam lintas agama sama saja dengan melunturkan keyakinan dan terkesan mencampuradukkan agama. Sikap dalam mencampuradukkan agama inilah yang dilarang karena telah menyentuh ranah
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
111 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
aqidah. Namun, kalangan yang tidak menyetujui atas fatwa ini menganggap MUI tidak dapat menjaga keharmonisan yang sudah ada. Fatwa MUI itu dinilai kontraproduktif dan bertentangan dengan inisiatif, praktik baik, dan agenda-agenda pemajuan toleransi. SETARA Institute memandang terbitnya fatwa ini menunjukkan kegagalan MUI sebagai organisasi masyarakat untuk berkontribusi dalam memelihara perdamaian dan kerukunan umat beragama (Wijayaatmaja 2024). Sedangkan keterangan dari Arif Fahrudin (Wakil Sekretaris Jenderal MUI) dalam hal ini dan dikuti dari lama resmi MUI menyampaikan:
"Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi. Yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah aqidah dan ritual keagamaan, sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah,"
Dari fakta inilah dapat disimpulkan bahwa perbedaan dalam mengukur ranah tolernasi pada masyarakat Muslim Indonesia masih sangat beragam. Hal ini disebabkan adanya benturan faham antara kemurnian agama yang perlu dijaga dan pentingnya sikap toleransi terhadap umat beragama lainnya.
Demikian pula, munculnya berbagai permasalahan seputar krisis moral atau krisis karakter dengan meningkatnya kejahatan, tindak kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), pornografi, pornoaksi serta pergaulan bebas sudah menjadi patologi dalam bermasyarakat (Anisyah, Marwah, dan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
112 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Maharani 2023, 48). Penyimpangan yang ada terkait moral dan identitas kerap kali disebabkan atas dasar menyimpangnya seseorang dari aturan agamaya.
Persoalan LGBT pun menjadi problem yang dilematis dalam lingkup negara yang berpegang pada norma agama sekaligus negara yang menghormati hak asasi manusia dengan beberapa pendapat pro-kontra di dalamnya. Sebagian kalangan menilai bahwa LGBT termasuk bagian dari gaya hidup atau lifestyle masyarakat modern yang menjadi trend dan mulai mendapat pengakuan dan tempat bagi komunitas di lingkungan Masyarakat (Dhamayanti 2022, 212). Anjuran atas keterbukaan, penerimaan, dan sikap saling menghargai memang terkadang dijadikan peluang bagi sebagian orang untuk menuntut kebebasannya berlandaskan hak asasi manusia (HAM).
4.2 INDEKS KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Indeks Kerukunan Umat Beragama Tahun 2021
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
113 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Indeks Kerukunan Umat Beragama Tahun 2022
4.3 Indeks Kerukunan Umat Beragama Tahun 2023
Uraian gambar di atas menunjukkan indeks kerukunan umat beragama di Indonesia selama tiga tahun berturut-turut. Data tersebut menjelaskan bahwa selama tiga tahun, penilaian
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
114 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
indeks kerukunan umat beragama secara nasional diambil dari dimensi toleransi, dimensi kesetaraan dan dimensi kerjasama mencapai peningkatan dalam setiap tahunnya.
Dimensi toleransi ditekankan pada empat penilaian, sikap kepada penganut agama lain yang membangun tempat ibadah di tempat tinggal, sikap terhadap penganut agama lain dalam melakukan perayaan keagamaan, dan berteman dengan anak-anak penganut agama lain. Dari keempat variabel, penilaian sangat toleran diberikan jika narasumber menjawab dengan ‘sangat tidak keberatan’. Sangat tidak keberatan jika bertetangga dengan penganut agama lain, sangat tidak keberatan jika anaknya bermain dengan penganut agama lain, dan seterusnya. Variabel-variabel inilah yang menjadi ukuran peningkatan kerukunan umat beragama (KUB) di Indonesia (Kemenag 2020).
Peneliti menilai indikator dan variabel dalam penilaian indeks kerukunan umat beragama masih sangatlah sempit, namun hasil yang ditunjukkan dari indeks tersebut menyatakan akan kesadaran masayarakat Indonesia untuk menciptakan kerukunan dalam keberagaman agamanya. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan indeks kerukunan tiap tahunnya. Terkait dengan laporan dan uraian dari indeks kerukunan umat beragama, Yaqut Cholil Qoumas selaku Menteri Agama diberi penghargaan sebagai tokoh toleransi. Penghargaan in diberikan dalam acara Temu Tokoh Agama di Riau pada tahun 2022.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
115 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Kesadaran akan kerukunan ini menjadi salah satu prinsip negara dalam mengurangi gerakan kekerasan atas nama agama atau yang kerap kali disebut dengan radikalisme. Namun, perhatian akan sisi untuk mencegah dan meminimalisir liberalisme masih belum nampak sebagaimana usaha di Indonesia mencegah radikalisme dalam pemaparan data sebelumnya.
4.3 KONTEKSTUALITAS NILAI WASATIYYAH YUSUF QARDHAWI DALAM MODERASI BERAGAMA DI INDONESIA
Konsep wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi yang berasaskan pada kemudahan, memberikan perpaduan (antara keaslian dan pembaharuan, salafiyyah dan sufisme, zahiriyyah dan muawwilah, thawabit dan mutaghayyirat), melihat dan memperhatikan realita, toleransi, berlandaskan pada musyawarah, dan menghidupkan kembali ijtihad memiliki kesesuaian dalam kontekstulitasnya dengan prinsip moderasi beragama di Indonesia. Toleransi menjadi prinsip yang sama-sama dikemukakan dalam inti dari perwujudan kerukunan.
Toleransi dalam prinsip wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi berarti menjadikan sikap toleransi terukur dengan syari’at. Keseimbangannya harus diukur dengan halal haram. Ketentuan hukum yang telah diatur syari’at juga menjadi hak Allah, bukan diatur oleh hak manusia. Tuntunan hak asasi manusia adalah keseimbangan yang tidak mungkin terjadi. Maka, toleransi dalam pluralitas agama dalam segi aqidah tetap
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
116 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
menyatakan akan kebenaran agama yang dianutnya hingga muncul kesadaran akan kewajiban seorang Muslim untuk mengajak pada jalan yang benar, tanpa memaksa dan merendahkan. Namun, dalam segi ibadah, akhlak, dan syariat tetap menjadi pribadi yang tidak kaku (berlebih-lebihan) atau meremehkan.
Urgensi konsep wasatiyyah Yusuf Qardhawi dengan memperhatikan misi perdamaian dan kebangkitan agama dapat menjadi solusi problematika perpecahan dan krisis moral sekaligus di Indonesia dengan mayoritas Muslim dari penduduknya. Namun, dalam hal ini, peneliti menyimpulkan batas kesempurnaan manusia sangatlah jauh dengan apa yang dimiliki dari Kesempurnaan Sang Pencipta, maka tak jarang beberapa usaha yang dilakukan dalam menyampaikan fatwa atau pendapatnya, Qardhawi masih dinilai kurang konsisten. Hal ini pun menjadi ungkapan pribadinya bahwa keseimbangan tak lain karena kesempurnaan pencipta. Dengannya, wasatiyyat al-Islam memiliki tiga pilar: ilmu, ketakwaan, dan moderasi. Ilmu melindungi seseorang dari hukum yang didasarkan atas kebodohan, ketakwaan melindungi dari hukum yang didasarkan atas hawa nafsu, dan keseimbangan melindungi dari sikap ekstrim (berlebihan).
Kondisi muslim Indonesia sebagai mayoritas penduduk yang diikuti oleh kesadaran akan kerukunan akan pluralitas agama menjadikan program Moderasi Beragama sebagai program prioritas menjadi sangat cocok dan efektif untuk mengurangi konflik yang ditimbulkan atas kekerasan
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
117 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
atas nama agama. Persamaan prinsip dalam wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi dan Moderasi Beragama di Indonesia adalah mewujudkan keseimbangan dalam hidup. Namun, perbedaan yang nampak dapat dinilai dari sebutannya, wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi sangat melekat dengan ajaran Islam dan sangat mengutamakan ilmu fikih dalam mengambil nilai dari apa yang disebut seimbang. Sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam pendiriannya untuk tetap kokoh memegang fondasi agama Islam hingga baginya sebutan fundamentalisme tidak memberikan banyak pengaruh untuk berubah dari jalan pemikirannya. Sedangkan, moderasi agama mengukur keseimbangan dengan dimensi toleransi, kesetaraan dan kerjasama karena fokus keseimbangan tersebut diaktulasasikan dengan wujud kerukunan. Kerukunan yang diwujudkan latar belakang manusia dengan berbagai macamnya dan penganut agama yang berbeda-beda perlu diusahakan.
Namun keduanya memiliki persamaan nilai utama yakni perlunya sikap toleransi dalam mewujudkan keseimbangan yang dimaksud. Adanya respon yang berlawanan (pro-kontra) dalam masyarakat muslim Indonesia antara sebagian kelompok dengan lainnya terkait beberapa kebijakan yang mengatasnamakan agama menghasilkan kesimpulan bahwa ukuran toleransi setiap orang berbeda-beda, bisa jadi satu pendapat dianggap merusak toleransi dan bagi kalangan lain tidak merusak, karena berprinsip pada ajaran agama dan meyakini kebenaran yang ada pun juga hak
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
118 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
setiap orang yang perlu juga mendapat toleransi dari orang lain.
Sebagai negara yang memiliki mayoritas penduduk Muslim, maka dapat menjadi nilai kesesuaian untuk menerapkan konsep wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi dengan menyelaraskan keseimbangan berdasarkan ajaran Islam, sehingga ukuran toleransi dapat terukur dengan syari’at. Jika apa yang menjadi fondasi adalah aturan syari’at maka fiqh akan menjadi landasannya. Ilmu Fiqh inilah yang mengantarkan pada keseimbangan antara sikap menghargai sesama dan menghargai agama sebagai ajaran suci.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
119 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
BAB 5
TRANSKRIP RINGKAS, SARAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan rentetan penulisan dalam uraian di atas, dapat diketahui bahwa nilai tawazun (keseimbangan) dalam wasatiyyat al-Islam sangat diperlukan dalam setiap sisi kehidupan termasuk dalam cara beragama. Wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi pun memberikan gambaran tersendiri akan pemikir Muslim kontemporer yang memandang urgensitas toleransi dalam wasatiyyah demi mewujudkan kedamaian sesama dan pengembangan visi kebangkitan Islam.
Namun, dengan berbagai keterbatasan dalam tulisan ini, ada beberapa saran yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dalam menguji relevansi yang diambil dari sikap toleransi yang dibangun atas prinsip wasatiyyat al-Islam Yusuf Qardhawi, peneliti hanya mengambil contoh dalam sikap menghadapi isu dan problematika seputar jihad dan fikih bernegara. Untuk itu selanjutnya dapat mengambil isu-isu kontemporer lainnya atau tambahan yang sesuai.
2. Konstekstualitas dalam wasatiyyat al-Islam di Indonesia hanya diukur dengan karakter moderasi beragama dari kajian literasi, sehingga penulis selanjutnya dapat mengambil penguatan metode lain dalam menguji kesesuaian.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
120 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
121 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
DAFTAR PUSTAKA
Abid, Makram. 2021. “al-Sanah al-Thalithah bi al-Ma’had al-Ibtidaiy.” Mauqi’u Simah{ati ash-Shaikh Yusuf Al-Qaradawi. https://www.al-qaradawi.net/node/4582 (April 28, 2024).
Abror, M. 2020. “Moderasi Beragama Dalam Bingkai Toleransi: Moderasi Beragama Dalam Bingkai Toleransi.” Rusydiah: Jurnal Pemikiran Islam. https://ejournal.stainkepri.ac.id/index.php/rusydiah/article/view/174.
Abu Bakar. 2015. “Konsep toleransi dan kebebasan beragama.” Toleransi 7(2): 123–31. https://situswahab.wordpress.com.
Afroni, Sihabuddin. 2016. “Makna Ghuluw dalam Islam: Benih Ekstremisme Beragama.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya (95).
Afwadzi, Benny, Miski Miski, Mila Aulia, dan Roudlotul Jannah. 2023. “Bagaimana Mahasiswa NU Memahami Islam Moderat?” AL-MURABBI: Jurnal Studi Kependidikan dan Keislaman 9(2): 12–31. doi:10.53627/jam.v9i2.5054.
Ahmad, Mochammad Achyat. 2013. “Islam, Jihad dan Terorisme.” In Liberalisasi Islam di Pesantren, Pasuruan: Pustaka Sidogiri.
Al-Azami, Usaama. 2022. “Why Yusuf al-Qaradawi Still Matters.” New Lines Magazine.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
122 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
https://newlinesmag.com/argument/why-yusuf-al-qaradawi-still-matters/ (Januari 18, 2024).
Al-Fauzan, Shalih. 1976. “Al-I’lam binaqdi Kitab al-Halal wa al-Haram fi al-Islam.”
Al-Hafni, Abdul Mun’im. 2016. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam. Grafindo.
“Al-Jamharah.”https://islamic-content.com/dictionary/word/1388 (Maret 23, 2024).
Al-Mandhur, Ibnu. 1884. Lisan al-Arab. 1 jilid 7. Bullog-Mesir: al-Maktabah al-Kubra al-Amiriyah.
Amin, Syaifullah. 2009. “Syeikh Qardhawi Meraih ‘Malaysia’s Hijra Award.’” NU Online. https://www.nu.or.id/warta/syeikh-qardhawi-meraih-039malaysia039s-hijra-award039-tY9EZ (Januari 29, 2024).
Aniq, Muhammad. 2020. “Wasatiyyatu-l-Islam Fii Mujtama’ Muta’addid Ath-Thaqafah Al-Mujtama’ Al-Indunisiy Namudzajan.” Tawasut: 1–18.
Anisyah, Nur, Siti Marwah, dan Ria Maharani. 2023. “Pendidikan Karakter Ditengah-Tengah Maraknya Krisis Moralitas Di Era Millenial.” Jurnal Mikraf: Jurnal Pendidikan 4(1): 48–55.
Annadawi, Muhammad Akrim. 2001. Kifayah ar-Rawi ’an ’Allamah as-Syaikh Yusuf Al- Qardhawi. Damaskus: Darul Qalam.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
123 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Anwar, M. Khoiril. 2021. “Makna Ghuluw Dalam Perspektif Hasbi As-Shiddieqy, Hamka, dan M. Quraish Shihab.” Sophist : Jurnal Sosial Politik Kajian Islam dan Tafsir 3(2): 19–40. doi:10.20414/sophist.v3i2.48.
Arif, Muhammad Khairan. 2020. “Moderasi Islam (Wasathiyah Islam) Perspektif Al-Qur’an, As-Sunnah Serta Pandangan Para Ulama Dan Fuqaha.” Al-Risalah 11(1): 22–43. doi:10.34005/alrisalah.v11i1.592.
Aulia, Guruh Ryan. 2023. “Toleransi Antar Umat Beragama dalam Perspektif Pendidikan Islam.” Al-Ubudiyah: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam 4(1): 44–51. doi:10.55623/au.v4i1.143.
Azizah, Khansa’, dan Aminullah Elhady. 2024. “Tajdid dan Kebangkitan Islam dalam Perspektif Yusuf Qardhawi.” Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam 8(1): 103–24. doi:https://doi.org/10.21111/tasfiyah.v8i1.11491.
Bustomi, Ahmad, dan Zuhairi Zuhairi. 2021. “Aktualisasi Nilai-Nilai Moderasi dalam Pandangan Islam.” Tapis : Jurnal Penelitian Ilmiah 5(2): 158. doi:10.32332/tapis.v5i2.4052.
Cohen, Ariel. 2005. “Power or Ideology.” American Journal of Islam and Society 22(3): 1–10. doi:10.35632/ajis.v22i3.463.
Dairobi, Ahmad. 2022. “Bola Liar Islam Moderat.” Sidogiri Media. https://sidogirimedia.com/bola-liar-islam-moderat/ (Desember 12, 2023).
Deny Irawan, Mohammad. 2018. “Islam Waşatiyyah: Refleksi Antara Islam Modern Dan Upaya Moderasi Islam.”
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
124 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin 16(2): 111–28. doi:10.30631/tjd.v16i2.57.
Dhamayanti, Febby Shafira. 2022. “Pro-Kontra Terhadap Pandangan Mengenai LGBT Berdasarkan Perspektif HAM, Agama, dan Hukum di Indonesia.” Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Law Journal 2(2): 210–31. doi:10.15294/ipmhi.v2i2.53740.
Diklat, Badan Litbang dan. 2022. “Buku Moderasi Beragama.” Www.Balitbangdiklat.Kemenag.Go.Id. http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/buku-moderasi-beragama.
Erica Rahmasari, Luthfiana Devi. 2022. “Dampak Moderasi pada Kehidupan Beragama Krisis Akhlak Remaja di Era Modern.” Realita : Jurnal Penelitian dan Kebudayaan Islam 20(2): 173–84. doi:10.30762/realita.v20i2.131.
Fahmi, Zulkifli Reza. 2021. “al-Tasamuh{ ad-Diniy ’Inda Yusuf al-Qardawi.” Journal of Comparative Study of Religions 2(1). doi:10.21111/jcsr.v2i1.6795.
Farfur, Muhammad Abdullathif. 1993. Al-Wasatiyyah fi al-Islam. 1 ed. Beirut: Dar an-Nafais.
Faruq, Umar, dan Lukisno Choiril Warsito. 2023. “Moderation in Understanding Hadith About Religious Estremism From the Perspective of Yusuf Qardhawi.” El-Umdah 6(1). doi:https://doi.org/10.20414/elumdah.v6i1.7040.
Fikri, Abdul, dan Mohamad Joko Susilo. 2023. “Values of Religious Moderation in the Book of Islam the Central
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
125 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Way By Yusuf Qardhawi.” At-Thullab : Jurnal Mahasiswa Studi Islam 5(2): 236–52. doi:10.20885/tullab.vol5.iss2.art22.
Fitrah, Meri, dan Syamsuar Hamka. 2022. “Pemikiran pendidikan Yusuf Al-Qardhawi dalam Kitab Al-‘Aql Wa al-‘Ilm Fi Al-Qur’an.” Tawazun: Jurnal Pendidikan Islam 15(1): 1. doi:10.32832/tawazun.v15i1.6843.
Fuadi, Ahmad. 2018. “Studi Islam (Islam Eksklusif dan Inklusif).” Jurnal Wahana Inovasi 7(2).
Graf, Bettina. 2018. “Yusuf al-Qaradawi.” In Key Islamic Political Thinkers, New York: Oxford University Press, 57–74. doi:10.4324/9780367272067-4.
Graf, Bettina. 2022. “Qaradawi and the Struggle for Modern Islam.” New Lines Magazine. https://newlinesmag.com/first-person/qaradawi-and-the-struggle-for-modern-islam/ (Januari 18, 2024).
Hakim Tafuzi Mu’iz, Dzikrul, dan Uril Bahruddin. 2023. “Formulasi Moderasi Beragama Dalam Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Sebagai Basis Mewujudkan Masyarakat Madani.” Al-Mubin; Islamic Scientific Journal 6(1): 47–57. doi:10.51192/almubin.v6i01.513.
Hanafi, Muchlis M. 2017. “Pengantar.” In Islamic Worldview: Paradigma Intelektual Muslim, Jakarta Timur: Spirit Media Press.
Hassan, Hassan. 2022. “Yusuf al-Qaradawi Leaves Behind a Complex Legacy.” New Lines Magazine. https://newlinesmag.com/argument/yusuf-al-qaradawi-
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
126 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
leaves-behind-a-complex-legacy/ (Januari 18, 2024).
Hick, John. 1963. Philosopy of Religion. New Delhi: Prentice Hall.
Hick, John. 2010. “Dialogues in the philosophy of religion.” Dialogues in the Philosophy of Religion: 1–212. doi:10.1057/9780230283978.
Hilmi, Danial. 2016. “Mengurai Islam Moderat sebagai Agen Rahmatan Lil ‘Alamin.” In ISLAM MODERAT Konsepsi, Interpretasi, dan Aksi, Malang: UIN Maliki Press.
Huda, Nur, Nur Hamid, dan Muhammad Khoirul Misbah. 2020. “Konsep Wasathiyyah M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (Analisis Hermeneutika Hans-Georg Gadamer).” International Journal Ihya’ ’Ulum al-Din 22(2): 198–231. doi:10.21580/ihya.22.2.6768.
Husaini, Adian. 2021. “Satu Tuhan, Satu Agama.” In Rasionalisme tanpa Menjadi Liberal, Jakarta Selatan: INSISTS.
Husna Amin, dan Saiful Akmal. 2021. “Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an (Ayat-ayat Jihad dan Qital).” Tafse: Journal of Qur’anic Studies 6(1): 127–58.
“Ila al-Kuttab thumma al-Madrasah al-Ilzamiyyah.” 2020. Mauqi’u Simah{ati ash-Shaikh Yusuf Al-Qaradawi. https://www.al-qaradawi.net/node/4588 (April 28, 2024).
Imarah, Muhammad. 1991. Ma’alim al-Manhaj al-Islamiy. 1 ed. Kairo: Dar al-Syuruq.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
127 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Ismail, Ahmad Munawar, dan Wan Kamal Mujani. 2023. “Refleksi kritis Yusuf Al-Qaradawi terhadap ekstremisme dan ekstremisme Agama (Yusuf al-Qaradawi’s Critical Reflection on Religious Extremism).” Journal Islamiyyat 45(1): 233-242.
Jakfar, Tarmizi M. 2011. Otoritas Sunnah non-Tasyri’iyyah menurut Yusuf Al-Qaradhawi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Jamilah, Imroatun. 2023. “Menggali Nilai-nilai Toleransi dalam Al-Qur’an dan Urgensinya dalam Kehidupan Bermasyarakat: Aplikasi Pendekatan Ma‘nā cum Maghzā pada QS. Al-Kāfirūn (109): 1-6.” REVELATIA Jurnal Ilmu al-Qur`an dan Tafsir 4(1): 41–54. doi:10.19105/revelatia.v4i1.7466.
Jan, Abid Ullah. 2005. “Moderate Islam.” American Journal of Islam and Society 22(3): 29–38. doi:10.35632/ajis.v22i3.467.
Karim, Amr Abdul. 2007. “al-Wasatiyyah ’inda al-Allamah Qardhawi.” Mauqi’u Simah{ati ash-Shaikh Yusuf Al-Qaradawi.
Katsir, Ibnu. 2005a. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. 4 ed. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
Katsir, Ibnu. 2005b. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. 4 ed. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
Keagamaan, Bidang Aqidah dan Aliran. 1970. “Penjelasan tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama.” : 98–100.
Kemenag, Balitbang. 2020. “Indeks Tertinggi Kerukunan Beragama 2019 di Kalimantan Tengah.” NU Online.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
128 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Khalida An Nadhrah, Nabila, Casram, dan Wawan Hernawan. 2023. “Moderasi Beragama menurut Yusuf al-Qardhawi, Quraish Shihab, dan Salman Al-Farisi.” Living Islam: Journal of Islamic Discourses 6(1). doi:10.14421/lijid.v6i1.4365.
Kusuma, Bagus Wibawa. 2020. “Integrasi Nilai-Nilai Islam Wasathiyah dan kearifan lokal dalam dakwah Transformatif Pondok Pesantren Sabiilul Hidaayah.” In Tesis Magister UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.
M. Jamil, Muhammad Faisal Hamdani, Iman Jauhari, M. Jafar, dan Dahlan. 2023. “MUSLIM SCHOLARS INTERPRETATION OF DISCOURSE RELIGIOUS TOLERANCE VERSES: The Cases of Quraish Shihab, Yusuf Qaradawi, and Khaled Abou el-Fadl in Qur’ān 60: 8-9.” Journal of Namibian Studies : History Politics Culture 33: 106–29. doi:10.59670/jns.v33i.498.
Mahmud, Muhammad. 2021. “Tinjauan Batasan Toleransi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Islam.” Forum Paedagogik 12(1): 51–62. doi:10.24952/paedagogik.v13i1.3421.
Manurung, Nirwan Syafrin. 2021. “Islam itu Harus Transnasional.” In Rasionalisme tanpa Menjadi Liberal, Jakarta Selatan: INSISTS.
Misrawi, Zuhairi. 2017. Al-Qur’an Kitab Toleransi (Tafsir Tematik Ayat Rahmatan lil ’Alamin. Jakarta: Pustaka Oasis.
Muhibbudin, Ahmad Luthfi,. 2021. “Liberalisasi Pemikiran Islam dan Kritik Terhadap Islam Liberal.” Tahdzib Al-
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
129 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Akhlaq: Jurnal Pendidikan Islam 4(2): 81–92. doi:10.34005/tahdzib.v4i2.1586.
Mukmin, Taufik, dan Eko Nopriansyah. 2017. “Toleransi Beragama Menurut Perspektif Alwi Shihab (Analisis Deskriptif Terhadap Buku Islam Inklusif).” el-Ghiroh 13(2): 23–44.
Naim, N. 2020. Islam and Religious Pluralism: The Dynamics of Meaning Seize. Tulung Agung: Satu Press. http://repo.iain-tulungagung.ac.id/17396/.
Nidhom, Khoirun. 2023. “Pandangan Al-Qur`an Dan As-Sunnah Tentang Wasatiyyah (Moderasi) Serta Implementasinya Terhadap Hukum Islam.” AT-TAISIR: Journal of Indonesian Tafsir Studies 2(2): 67–86. doi:10.51875/attaisir.v2i2.90.
Nuriz, M. Adib Fuadi. 2015. “Pluralisme Agama: Implikasi dan Dampaknya dalam Islam.” In Problem Pluralisme Agama, Ponorogo: CIOS.
Putra, Ahmad, dan Prasetio Rumondor. 2020. “Sunnah, Sains dan Peradaban Manusia; Menelaah Kembali Pemikiran Yusuf Al Qardhawi.” EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam 10(1): 1–19. doi:10.54180/elbanat.2020.10.1.1-19.
Putra, Andika, Atun Homsatun, Jamhari Jamhari, Mefta Setiani, dan Nurhidayah Nurhidayah. 2021. “Pemikiran Islam Wasathiyah Azyumardi Azra sebagai Jalan Moderasi Beragama.” Jurnal Riset Agama 1(3): 212–22. doi:10.15575/jra.v1i3.15224.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
130 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Quthb, Sayyid. 1982. Fi Dzilal al-Qur’an, Jilid 1. Kairo Mesir: Dar al-Shuruq.
Rais, Muhammad. 2020. “Wasathiyyah Islam: Antara Doktrin dan Praksis Sosial.” Mimikri 6 No. 1(1): 74–95. https://blamakassar.e-journal.id/mimikri/article/view/349.
Rais, Zaim. 2018. “Muslim Moderat Barat Versus Islam.” Jurnal Al-Aqidah 10(2): 102–10. doi:10.15548/ja.v10i2.2208.
Rasito, dan Izza Mahendra. 2019. “Moderasi Fikih Melalui Pendekatan Maqasid al-Shariah Yusuf al-Qardhawi: Mencari Relevansinya di Indonesia MODERATION.” Al-Wasatiyah 1(1): 36–65.
Ridho, Muhammad Izul. 2023. “Tafsir Ayat-ayat Larangan Merusak Lingkungan dalam Pandangan Yusuf Qardawi.” UIN Kiai Haji Achmad Siddiq.
Safrodin, Safrodin. 2019. “Diskursus Naskh Ayat-Ayat Toleransi Oleh Ayat-Ayat Perang Dalam Al-Qur’an.” Jurnal THEOLOGIA 30(1): 51–74. doi:10.21580/teo.2019.30.1.3206.
Saifulloh, Ahmad. 2015. “Skeptisisme dan Pluralisme Agama.” In Problem Pluralisme Agama, Ponorogo: CIOS.
Salim, Agus. 2022. “Islam, Pluralisme, dan Multikulturalisme.” Kementerian Agama Republik Indonesia.
Sari, Cut Intan. 2024. “Generasi Krisis Akhlak dalam Pandangan Islam.” KBA.One.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
131 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
Shihab, M. Quraish. 2020. Wasathiyyah (Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama). Tangerang: Lentera Hati.
Smith, Wilfred Cantwell. 1978. The Meaning and End of Religion. London: SPCK.
Sudarto, Sudarto. 2021. “Fikih Bernegara Dalam Pemikiran Yusuf Al-Qaradawi.” Profetika: Jurnal Studi Islam 22(1): 18–39. doi:10.23917/profetika.v22i1.14778.
Suharto, Ahmad, Ridwan Sadili, Abdullah Muslich Rizal Maulana, dan Intan Pratiwi Mustikasari. 2023. “Positioning the Meaning of Wasatiyyah in Religious Moderation.” Sangkep: Jurnal Kajian Sosial Keagamaan 6(2). doi:https://doi.org/10.20414/sangkep.v6i2.7931.
Supriyatno, Helmi. 2022. “Ketika Agama Tak Lagi Diminati Anak Muda.” Bhirawa Online. https://www.harianbhirawa.co.id/ketika-agama-tak-lagi-diminati-anak-muda/ (November 12, 2023).
Surahman, Cucu, Bayu Sunarya, dan Titin Yuniartin. 2022. “Konsep toleransi dalam Alquran (Studi atas ¬Q.S. Al-Kāfirūn dan implikasinya terhadap pembelajaran PAI di sekolah).” Humanika 22(2): 147–62. doi:10.21831/hum.v22i2.53517.
Susiana. 2008. “Fundamentalisme Islam dalam Pandangan Yusuf Qardhawi.” Al-Fikra 7(1).
Syahbana, Prima. 2023. “Heboh Peresmian Gereja di Muara Enim Diiringi Marawis.” Detik Sumbagsel. https://www.detik.com/sumbagsel/berita/d-6836953/heboh-peresmian-gereja-di-muara-enim-
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
132 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
diiringi-marawis-ini-faktanya (Desember 12, 2023).
Wahab, Sofyan Siroj Abdul. 2023. “Toleransi bukan Kolaborasi.”Cakaplah. https://www.cakaplah.com/berita/baca/100952/2023/07/31/toleransi-bukan-kolaborasi/#sthash.RajAlEmN.dpbs (Desember 12, 2023).
Widianto, Eko. 2019. “Tari sufi dan selawat iringi misa Natal, ‘upaya jalin persahabatan lintas iman.’” BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50914842 (November 12, 2023).
Wijayaatmaja, Yakub Pryatama. 2024. “Fatwa MUI Haramkan Salam Lintas Agama Lemahkan Toleransi dan Kebinekaan.” Media Indonesia.
Yulianto, Agus. 2023. “Nikah Beda Agama dan Toleransi Beragama.”Republika. https://news.republika.co.id/berita/rycw2f318/nikah-beda-agama-dan-toleransi-beragama (Desember 12, 2023).
Yusuf Qardhawi. 1977. Al-Khasais al-’Ammah lil-Islam. Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
Yusuf Qardhawi. 1995. Karakteristik Islam: Kajian Analitik. Surabaya: Risalah Gusti.
Yusuf Qardhawi. 1996. Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam. Kairo: Dar Ash-Shuruq.
Yusuf Qardhawi. 2000. Thaqafatuna bayna-l Infitah{ wa-l Inghilaq. Kairo Mesir: Dar Shuruq. https://www.al-
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
133 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
qaradawi.net/node/5125.
Yusuf Qardhawi. 2002. Ibn al-Qaryah wa al-Kuttab. Kairo Mesir: Dar Ash-Shuruq.
Yusuf Qardhawi. 2003. Masyarakat Berbasis Syariat Islam. 1 ed. Solo: Era Intermedia.
Yusuf Qardhawi. 2004. al-Hayat al-Rabbaniyah wa al-Ilm. Kairo: Maktabah Wahbah.
Yusuf Qardhawi. 2005. “Al-Iman min al-Madzhar ila al-Jawhar.” Mauqi’u Simah{ati ash-Shaikh Yusuf Al-Qaradawi. https://www.al-qaradawi.net/node/3483 (April 16, 2024).
Yusuf Qardhawi. 2007. Islam Radikal Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya, Terj. Ash Shahwah Al-Islamiyyah bain Al-Juhud wa at-Tatharruf. Solo: PT. Era Adicitra Intermedia.
Yusuf Qardhawi. 2008a. al-Sah{wah al-Islamiyyah min al-Murahaqah ila al-Rusyd. 3 ed. Kairo: Dar Ash-Shuruq.
Yusuf Qardhawi. 2008b. Fatwa-fatwa Kontemporer. 3 ed. Depok: Gema Insani.
Yusuf Qardhawi. 2009a. Fiqh al-Jihad. Kairo: Maktabah Wahbah.
Yusuf Qardhawi. 2009b. Fiqhu-l-Wasatiyyah wa At-Tajdid. Dar Shuruq.
Yusuf Qardhawi. 2011. Kalimat fi al-Wasatiyyah al-Islamiyyah wa Ma’alimuha. 3 ed. Kairo Mesir: Dar Ash-Shuruq.
Yusuf Qardhawi. 2015. “al-Jihad bayna ad-Difa’ wa al-Hujum.” Mauqi’u Simah{ati ash-Shaikh Yusuf Al-Qaradawi.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
134 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
https://www.al-qaradawi.net/node/2573 (April 20, 2024).
Yusuf Qardhawi. 2020. “Suroh an-Usroti al-Qaradawiyyah.” Mauqi’u Simah{ati ash-Shaikh Yusuf Al-Qaradawi. https://www.al-qaradawi.net/node/4587.
Zainuddin, Subur Wijaya Ahmad Luthfi. 2020. “Konsep Toleransi Perspektif para Pakar dan Mufassir.” Hikami 1.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2012. Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam. INSISTS.
Zuhri, Achmad Muhibin. 2022. Islam Moderat: Konsep dan Aktualisasinya dalam Dinamika Gerakan Islam di Indonesia. Lamongan: Academia Publication.
Zumrotus Sholikhah, dan Muhamad Basyrul Muvid Muvid. 2022. “Konsep Islam Moderat Sebagai Alternatif Dalam Proses Penanggulangan Paham Radikal Di Indonesia.” al-Afkar, Journal For Islamic Studies 5(4): 115–28. doi:10.31943/afkarjournal.v5i4.324.
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
135 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
BIOGRAFI PENULIS
Dr. SITI MASROHATIN, S.E, M.M
Ketertarikan penulis terhadap ilmu manajemen pendidikan di lanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Rogojampi selama 3 tahun, segala suka duka dalam menuntut ilmu dari sekolah sebagai bekal melangkah ke masa depan sangat dirasakan. Tamat dari sekolah ini pata tahun 1995, pendidikan dilanjutkan ke Universitas Muhammadiyah Jember di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen. Pada tahun 1999 berhasil menamatkan S-1 dengan Predikat Cumlaude. Tidak lama setelah itu pada tahun 2003 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S-2 dengan beasiswa dari DIKTI, setelah sebelumnya juga menjadi asisten dosen di almamater Berdasarkan pilihan penulis berkesempatan melanjutkan selama dua tahun di Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2005 berhasil memperoleh gelar Magister Manajemen Sumberdaya Manusia. Lalu S-3 Di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember Prodi Ilmu Manajemen dan memperoleh gelar Doktor Ilmu Manajemen dengan Predikat Pujian dan Cumlaude Lulus 2022.
Setelah menamatkan Program Pascasarjana, penulis langsung mengabdi sebagai Dosen di Universitas Muhammadiyah Jember, pada tahun 2009 penulis diterima menjadi Dosen Tetap di STAIN Jember. Selain pengalaman
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
136 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
mengajar penulis juga aktif di kegiatan kemasyarakatan. Penulis pernah menjadi konsultan manajemen, konsultan UMKM di Jember.
Beberapa karya Ilmiah penulis, diantaranya 2012); Peranan Koperasi Pondok Pesantren AN-NUR Dalam Memberdayakan Ekonomi Masyarakat Di Desa Wonosobo Kecamatan Srono Kabupaten Banyuwangi (Penelitian Individual, 2013); Pemberdayaan Kewirausahaan Terhadap Santri Di Pondok Pesantren Bustanul Ulum Bulugading Bangsalsari Jember (Penelitian Individual, 2014). Strategi Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Melalui Usaha Kerajinan Alat-Alat Dapur Di Desa Suci Kec Panti Jember (2015). Budaya Komunikasi Masyarakat Osing (Studi Pada Komunitas Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi) (2017). Spending Habits: Dimensi Sosial EkonomiPemanfaatan Sumberdaya Perikanan Masyarakat Pesisir Pantai Selatan Muncar Banyuwangi (2018). Peran Lembaga keuangan dalam Inklusi Keuangan Pada Beberapa UMKM Industri Krupuk Masyarakat Karangmluwo Mangli Kaliwates Jember (2019). Optimalisasi Potensi Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat Lokal Melalui Rekonstruksi Pariwisata Syariah Di Indonesia (Stidi Empirik Wisata Syariah Pulau Santen Banyuwangi) (2020)
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
137 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
KHANSA’ AZIZAH, M.Ag
Ketertarikan penulis mendalami ilmu dalam lingkup pemikiran keagamaan diawali sejak langkah pendidikan yang diambil sejak jenjang menengah. Menempuh pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) selama 5 tahun untuk jenjang menengah pertama dan menengah atas. Bekal ilmu yang didapat terus diperdalam dengan melanjutkan pendidikan di Universitas Darussalam Gontor pada tahun 2014 dengan mengambil jurusan pendidikan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Tamat pendidikan S1 tahun 2018 dengan berbagai ketertarikan dalam kajian Qur’an, penulis mulai mendalami kajian kitab salaf sekaligus menambah rutinitas untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an di Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang selama 3 tahun. Melanjutkan perjuangan pada jalur akademik yang dibarengi dengan munculnya berbagai polemik dalam dunia pemikiran keislaman, berdasarkan pilihan penulis, melanjutkan studi di Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember dan berhasil memperoleh gelar Magister di tahun 2024 dengan masa studi 2 tahun.
Beberapa karya ilmiah dari penulis diantaranya: “Karomatu Maryam ‘Inda Jamaluddin Al-Qasimi Fii Tafsir Mahasin at-Ta’wil” (Skripsi UNIDA Gontor tahun 2018), Analysis Of Amina Wadud's Hermeneutic Weaknesses Through Wasatiyyah Yusuf Qardhawi's Perspective (Jurnal Islamuna Vol. 11 No. 1, 2024), Tajdid dan Kebangkitan Islam dalam Perspektif Yusuf Qardhawi (Jurnal Tasfiyah Vol. 8 No. 1, 2024).
SITI MASROHATIN
KHANSA’ AZIZAH
138 | TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA

Posting Komentar

0 Komentar